Meritrokrasi Jabatan dan Parpol
Sebentar lagi jabatan Kepala Kepolisian Negara RI Jendral (Pol) Badrodin Haiti akan berakhir karena yang bersangkutan memasuki usia pensiun. Presiden pasti akan mengajukan calon penggantinya ke DPR. Barangkali tidak terlalu lama lagi kabinet presidensial akan dirombak dan presiden akan mengangkat calon-calon menteri baru untuk menggantikan menteri yang dinilai kinerjanya tidak efektif.
Kalangan partai politik sibuk menyelenggarakan musyawarah nasional luar biasa mengganti pimpinan partai yang bisa membantu kabinet atau yang munas biasa untuk mempersiapkan program untuk mengajukan calon-calon partainya menjadi menteri. Sementara di kalangan birokrasi terjadi pengangkatan dan pemberhentian pejabat. Pengangkatan jabatan menurut tata hukum administrasi negara merupakan kekuasaan pejabat pimpinan yang berhak mengangkatnya.
Kekuasaan mengangkat calon pejabat yang sesuai dengan sistem merita, sistem keahlian, dan didasarkan atas kompetensi dan kejujuran moral calon, selama ini dikenal dengan istilah meritokrasi. Meritokrasi dalam jabatan merupakan kekuasaan yang melekat pada seseorang yang menjadi pimpinan yang berhak mengangkatnya. Proses kekuasaan yang melibatkan seseorang yang mempunyai hak mengangkat dengan memakai sistem merita dalam suatu organisasi pemerintah atau nonpemerintah merupakan rutinitas yang sering kita jumpai.
Sudah lama kita tidak mendengat meritokrasi dijalankan dengan benar. Pejabat yang tak pernah ikut ujian atau testing tiba-tiba diangkat menjadi pejabat. Transparansi dan keterbukaan dalam menyelenggarakan testing calon jarang kita ketahui. Bahkan, ada seorang pejabat pimpinan yang sering kali memberikan surat sakti (katabelece) agar kerabatnya bisa dipromosikan untuk suatu jabatan. Dalam literatur manajemen SDM, pengangkatan suatu jabatan yang dilakukan harus selalu didasarkan pada prinsip meritokrasi. Agar tak menimbulkan kecurigaan, dijalankan secara terbuka. Tujuannya, didapat calon-calon pejabat pimpinan yang baik dan jujur sehingga melahirkan tata cara kepemerintahan yang baik pula.
Birokrasi dan partai politik
Perilaku partai politik merupakan perilaku kekuasaan. Tidak ada partai politik dibentuk bukan karena kekuasaan. Bung Karno dulu sering mengatakan, partai politik itu untuk mengejar, membentuk, dan mempertahankan kekuasaan. Dalam pemerintahan yang demokratis, kehadiran partai politik dalam kehidupan birokrasi pemerintahan tak bisa dihindari.
Dalam sejarah pertumbuhan birokrasi pemerintahan yang demokratis, kehadiran partai politik merupakan suatu keharusan. Akan tetapi, landasan hukum terhadap hubungan kerja antara pejabat birokrasi dan pejabat politik belum pernah ditata dengan baik. Adapun pengaturannya yang berlaku adalah berdasarkan dalil hierarki kekuasaan. Hierarki tertinggi kekuasaan dari pejabat yang berkuasa menguasai pejabat yang berada di hierarki bawah.
Pengaturannya dilakukan secara taken for granted penguasa membawahi yang dikuasai secara hierarkial. Selama ini, pejabat birokrasi berada pada pihak yang dikuasai dan pejabat politik atau partai politik berada di pihak yang menguasai. Dalam disiplin ilmu politik, kewenangan politik (partai politik) adalah kewenangan membuat keputusan atau policy, karena itu posisinya berada di hierarki atas membawahi birokrasi yang mempunyai tugas dan kewenangan melaksanakan dan mewujudkan policy. Pihak yang berkuasa berada pada tempat yang bisa melakukan sesuai dengan diskresi kekuasaannya bisa mengubah, menata, dan menciptakan sistem tata hubungan kerjanya sesuai selera politiknya sendiri-sendiri.
Suatu sistem yang baik itu realisasinya sangat tergantung pada siapa orang yang mempergunakan sistem itu. Jika orangnya baik beretika dan berlandasan moral agama yang kuat, akan lahir meritokrasi yang sesungguhnya dan bermanfaat bagi orang banyak. Jika yang memimpin orang politik, sering kali bisa diatur sesuai dengan aspirasi politik partainya.
Suatu sistem bisa bermata ganda melahirkan tata cara yang baik dan bisa juga sebaliknya. Kita sering menjumpai akhir-akhir ini sistem demokrasi itu adalah suatu sistem yang baik untuk memberikan kekuasaan pada rakyat dan diakuinya adanya perbedaan. Akan tetapi, pelaksanaannya tergantung aspirasi partai politiknya. Baik itu terjadi di Amerika maupun di Indonesia, aspirasi itu kadang kala bisa merusak kekuasaan rakyat dan menyampingkan asas perbedaan.
Sekarang demokrasi dilakukan oleh siapa yang punya banyak uang dengan atas nama mempergunakan demokrasi membeli suara rakyat melalui uang yang dikenal dengan sebutan politik uang (money politic). Dalam kehidupan partai politik yang akrab dengan kehidupan kekuasaan tadi, sistem bermata ganda itu sering kali dilaksanakan. Partai politik dengan dalih apa pun sulit dipisahkan dari perilaku kekuasaan ini. Kekuasaan dan partai politik sulit dipisahkan. Eksistensi partai politik menurut Bung Karno adalah untuk membentuk dan memperoleh kekuasaan, serta mempertahankannya. Untuk mencapainya, pelbagai cara bisa dilakukan.
Penelitian saya tahun 2005 tentang meritokrasi dalam manajemen SDM selalu ditekankan dengan berpedoman melaksanakan sistem merita, tetapi realitasnya dilaksanakan dengan banyak pernyimpangan terutama karena pengaruh politik dan uang (politicking and money politic) tadi. Jika suatu kementrian dipimpin seorang menteri dari partai politik tertentu, sistem manajemen di birokrasi pemerintah banyak dipengaruhi oleh aspirasi politik dari partai politik menteri.
Mengangkat pegawai, mengganti pejabat, katanya menggunakan sistem merita, tetapi yang diamalkan sistem yang sesuai dengan aspirasi politik partai menteri. Penelitian saya menunjukkan bahwa hal ini terjadi di birokrasi pemerintah. Seharusnya sejak berlakunya UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang di dalamnya diatur perlu adanya system merit protecting board, suatu lembaga penjamin dan pengontrol pelaksanaan sistem meritokrasi, penyimpangan terhadap meritokrasi sudah tidak ada. Sekarang sudah dibentuk Komisi Aparatur Sipil Negara sebagai lembaga kontrol pelaksanaan meritokrasi.
Dalam kehidupan partai politik sewaktu pemerintahan liberal di zaman Bung Karno, jika suatu kementrian dipimpin oleh menteri dari satu partai, seluruh organisasi kementrian dari hierarki atas sampai terbawah diduduki partai yang sama dengan menterinya. Sampai sekarang, kehidupan suatu partai politik di dalam birokrasi pemerintah tidak jauh bedanya. Mereka ingin berkuasa dan menguasai sumber daya kementrian berupa anggaran dan aparatur untuk modal persiapan memenangkan pemilu yang akan datang. Dukungan menguasai anggaran dan aparatur inilah yang bisa mengubah tatanan administrasi negara bisa disesuaikan dengan kekuasaan parpol.
Dahulu, Lee Kuan Yew bersama partai politiknya membangun Singapura juga menggunakan meritokrasi. Prinsipnya bagus, Lee ingin menciptakan tata pemerintahan yang bagus, kompeten, dan professional, yakni suatu dasar yang baik agar tertata sistem pemerintahan yang baik dan modern. Namun, di balik tujuan yang baik itu, Lee Kuan Yew menekankan adanya pembayaran pajak yang tinggi bagi pemilik tanah, rumah, tempat tinggal, kebun, dan pertanian yang sebagian besar dimiliki orang Melayu, kelompok etnis yang dinilai tidak profesional dan kompeten dalam pemerintahan.
Akibatnya, orang Melayu ini tidak sanggup lagi membayar pajak yang tinggi sehingga akhirnya tanah, perkebunan, dan rumah tinggalnya dijual dan yang sanggup membeli orang-orang Tiongkok yang banyak uangnya. Orang-orang Melayu ini menghidar dan pergi ke pinggitan, menjauh dari kota. Tampaknya meritokrasi Lee adalah menempatkan orang-orang yang sanggup membayar pajak sehingga pemerintahannya didukung oleh orang-orang yang setia pembayar pajak. Maka, meritokrasi model Lee Kuan Yew ini melahirkan Singapura yang sekarang ini.
Stephen J McNamee dan Robert K Miller dalam The Meritocracy Myth (2009) menyatakan mimpinya bahwa Amerika adalah tanah serba kemungkinan. Suatu asumsi jika Anda bekerja cukup keras dan cukup berbakat, Anda akan bisa mengatasi berbagai kesulitan dan mencapai sukses. Dan, tidak masalah dari mana Anda akan memulai hidup karena langit tidak terbatas luasnya.
Pendapat McNamee dan Miller ini diperkuat Richard Longoria dalam bukunya, Meritocracy and American Views (2009), bahwa orang Amerika menghadapi faktor lain yang nyata dan sering kali berpengaruh dalam pengalaman hidupnya. Ada faktor-faktor lain, seperti: Anda harus tahu siapa yang menentukan jabatan, dan Anda harus tahu tempat yang tepat dan waktu yang sesuai, demikian pula Anda harus tahu adanya diskriminasi. Meritokrasi melahirkan sistem bermata ganda karena adanya faktor lain yang berpengaruh.
Penyimpangan Sistem
Meritokrasi bisa melahikan praktik yang berbeda dengan yang seharusnya karena dipengaruhi oleh faktor lain. Kualitas pejabat pimpinan yang berkuasa menetapkan meritokrasi sangat kuat pengaruhnya. Pimpinan yang sangat mencintai kekuasaan dan landasan etika moralnya juga lemah akan bisa merusak meritokrasi. Pimpinan yang cerdik menggunakan kajian akademis ilmiah bisa memanfaatkan meritokrasi untuk membangun pemerintahan yang modern yang memenuhi satu sisi memuaskan egonya.
Perilaku pimpinan yang seperti ini yang harus dipahami melahirkan faktor diskriminatif. Orang bukannya memahami tata aturan hukum yang berlaku, tetapi harus mencari siapa yang menentukan tempat yang tepat dan waktu yang sesuai agar cocok solusinya.
Semenjak birokrasi pemerintah dipimpin partai politik, aspirasi politik dari partai politik menteri banyak mewarnai meritokrasi ini. Maka, kemudian berlaku yang dianggap benar selama ini. Suatu penyimpangan yang terjadi sepanjang masa, berjalan terlalu lama, sehingga orang lalu lupa bahwa itu merupakan penyimpangan. Maka, lantas berlaku hukum baru dalam sistem administrasi negara kita, yakni hukum penyimpangan. Seperti tata cara menyelesaikan masalah dalam administrasi negara dengan melahirkan perbuatan suap-menyuap. Penguasa agak mempersulit pemberian pelayanan kepada orang yang tidak mempunyai kekuasaan. Orang lalu mengetahui kelemahan penguasa, kekerasannya itu bisa lemah kalau disuap, maka penguasa itu lalu mempermudah kesulitan itu.
Hubungan suap-menyuap ini sudah lazim dilakukan antara penguasa dengan pihak yang dikuasai. Dan, hal seperti ini sudah berlangsung semenjak zaman kolonial. Sekarang, perbuatan menyimpang suap-menyuap mulai diancam hukuman pidana oleh KPK. Penyimpangan meritokrasi yang diuraikan di atas semestinya harus diperlakukan seperti upaya menanggulangi suap-menyuap setelah berlakunya UU No. 5 Tahun 2014. Di kantor Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi telah banyak dipersiapkan aturan pelaksanaannya. Karena kementrian ini juga dipimpin orang parpol, semoga Undang-Undang Aparatur Sipil Negara ini bisa mengendalikan aspirasi kekuasaan politik menteri.
Penulis: Miftah Thoha (Guru Besar Ilmu Administrasi Publik UGM) dalam rublik Opini Kompas pada 13 Juni 2016