Yogyakarta, 26 Januari 2022─Center for Digital Society (CfDS) Fisipol UGM menyelenggarakan OPOSiT #25 atau Obrolan dan Opini Seputar Dunia Digital pada Rabu (26/1) malam. Pada kesempatan ini, topik yang diangkat adalah “Bagaimana Masyarakat Indonesia Merespon Teknologi Baru?” melalui Live Instagram @cfds_ugm. Acara dibawakan oleh Perdana Karim (Research Assistant CfDS) dan Ardi Aziz (mahasiswa Hubungan Internasional 2018).Acara ini membahas mengenai teknologi baru yang sedang berkembang, yaitu NFT dan Metaverse yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan. Teknologi baru tersebut bersifat desentralisasi data, di mana pengguna dapat mengambil alih internet yang sekarang ini serba monolit dari berbagai macam monopoli perusahaan.
Ardi Aziz, menyebut trend ini sangat positif dan harus disambut karena sifatnya yang desentralisasi data justru bisa menjadi empowerment. “Metaverse dan NFT bisa memberi kesempatan bagi individu yang berbakat untuk menciptakan sesuatu yang bernilai baru, yang sebenarnya tidak bisa mereka ciptakan di dunia nyata,” ungkapnya.
Seperti yang terjadi baru-baru ini, kisah Ghozali yang meraup keuntungan milyaran rupiah dari hasil menjual NFT berupa foto selfie-nya selama lima tahun. Hal itu menimbulkan berbagai respon dari masyarakat, sehingga mereka penasaran dan mau tidak mau harus terjun ke dunia NFT meski tidak paham secara fundamental.
Namun, culture NFT ini juga menciptakan mindset yang salah di masyarakat bahwa mereka menganggap teknologi baru ini sebatas cuan, tanpa berusaha menghasilkan karya yang inovatif.
“Saya setuju bahwa NFT membangun portal keuntungan bagi kreativitas mereka, tapi di saat yang sama pasar Opensea menjadi ramai orang-orang yang berusaha untuk meng-copy Ghozali dengan foto-foto pejabat koruptor, bahkan yang lebih parah yaitu selfie dengan foto KTP,” kata Perdana.
Lebih lanjut, pemerintah terus mendorong masyarakat untuk terjun ke dunia Metaverse atau konsep-konsep teknologi baru yang lain. Di samping memiliki potensi, tidak semua negara sudah siap menghadapi perkembangan teknologi ini. Apalagi Indonesia yang masih negara berkembang, tentu paling tidak memiliki tiga faktor utama yaitu aksesibilitas, talenta, dan infrastruktur.
“NFT dan Metaverse masih teknologi baru, tetapi perlu disadari bahwa akses ke dunia baru ini belum cukup inklusif dan tidak semua orang bisa berpartisipasi di situ,” ucap Ardi Aziz.
Selain itu, tidak bisa dipungkiri bahwa teknologi mutakhir tersebut membutuhkan talenta yang memiliki spesialisasi teknis. Apalagi infrastruktur dalam dunia virtual itu sendiri yakni internet, yang masih belum mendukung di negara kita. Kendati demikian, karakteristik gen Z Indonesia yang suka hal-hal berbau teknologi atau tech savvy ini harus terus dimaksimalkan potensinya. (/Wfr)