Mewujudkan ‘Kebersamaan Baru’ Demi Kesehatan Mental di Tengah Pandemi

Hingga saat ini (29/08), pandemi Covid-19 masih meradang di Indonesia. Menurut situs resmi World Health Organization (WHO), Covid-19 bisa menular melalui percikan (droplets) dari saluran pernapasan (hidung atau mulut) seseorang yang sudah terinfeksi. Oleh karena itu, masyarakat dituntut untuk membatasi interaksi secara fisik dengan orang lain serta menaati protokol kesehatan secara ketat, seperti menjaga jarak, menggunakan masker, dan menghindari kerumunan.

Tuntutan ini tentu memengaruhi berbagai bidang, termasuk perkuliahan dan kegiatan mahasiswa. Mahasiswa erat dengan kegiatan berkumpul yang melibatkan interaksi secara fisik, misalnya selama pembelajaran di kelas, kegiatan organisasi, atau sekadar menghabiskan waktu bersama teman. Kini, berbagai aktivitas yang rutin dilaksanakan terpaksa harus menyesuaikan protokol kesehatan atau ditiadakan demi keselamatan bersama.

Gambar: journal.sociolla.com (https://journal.sociolla.com/lifestyle/tips-atasi-kesepian-tidak-bisa-mudik)

Sementara itu, tidak sedikit mahasiswa sering memanfaatkan aktivitas bersama untuk refreshing atau pelampiasan dari rasa penat. Meskipun menjadi cenderung lebih tidak sibuk, pengurangan aktivitas dan interaksi dengan dunia luar bisa menyebabkan stres. Rasa terisolasi dan sendirian dalam kurun waktu lama bisa menjadi tekanan bagi diri sendiri. Selain itu, mahasiswa juga mungkin mengalami kebingungan ketika rencana dan rutinitas tidak berjalan seperti biasanya.

Hal tersebut tentu wajar terjadi mengingat manusia tidak bisa sepenuhnya terlepas dari interaksi dan proses sosial sebagai makhluk sosial. Bersosialisasi juga bisa memengaruhi kesehatan mental seseorang. Galea, Merchant, dan Lurie (2020) dalam artikelnya menyebutkan bahwa keterbatasan untuk berinteraksi dan beraktivitas di tengah pandemi ini bisa mengakibatkan munculnya rasa kesepian, kecemasan, hingga depresi.

Oleh karena itu, menjaga hubungan dan interaksi dengan orang lain harus tetap diupayakan meskipun tidak bisa saling bertemu secara fisik. Dilansir dari Al-Jazeera (31/03), WHO sudah mengubah penggunaan istilah ‘pembatasan sosial’ menjadi ‘pembatasan fisik’ untuk menggugah kesadaran bahwa masyarakat tetap harus mengupayakan koneksi dengan teman atau keluarga di tengah situasi ini. Pandemi mungkin membatasi kontak fisik, tetapi itu bukan berarti hubungan sosial dengan orang lain menjadi renggang.

Ketika merasa kesepian atau menghadapi kesulitan, jangan ragu untuk bercerita ke teman atau kerabat.  Perlu diingat bahwa semua orang sebenarnya membutuhkan satu sama lain di situasi seperti ini. Saling peduli dan memberi bantuan menjadi wujud kebersamaan ketika sedang berjauhan. Tidak harus dengan mengirim hadiah, menunjukkan kepedulian bisa dimulai dari hal-hal sederhana, misalnya menanyakan kabar. Dengan begitu, kebersamaan tetap dapat dirasakan meskipun tidak berwujud pertemuan dengan orang banyak atau duduk berdekatan seperti sebelumnya.

Masyarakat, termasuk mahasiswa, bisa memanfaatkan media sosial atau teknologi digital untuk tetap saling berkabar sekaligus sebagai wadah kegiatan sementara masih ada larangan berkumpul. Jika sebelum pandemi orang-orang bertemu terlebih dahulu untuk saling sapa, kini kita harus mau berinisiatif untuk bertukar kabar melalui media sosial. Tentunya yang penting adalah tetap saling menghargai waktu dan tidak mengganggu urusan masing-masing.

Meskipun begitu, akan lebih baik apabila penggunaan media sosial dan teknologi digital diimbangi dengan manajemen waktu yang tepat, termasuk untuk beristirahat. Hal ini  bertujuan untuk membatasi konsumsi informasi berlebihan yang juga tidak menyehatkan. Selain itu, pelaksanaan berbagai kegiatan secara daring tentu juga melelahkan meskipun secara fisik tidak banyak bergerak. Mengatur waktu antara berinteraksi dan beristirahat bagi diri sendiri juga penting demi menjaga kesehatan selama pandemi ini, baik secara fisik maupun mental. (/Raf).

 

Sumber:

Aziz, S. (31 Maret 2020). Why ‘physical distancing’ is better than ‘social distancing’. Al Jazeera. Diakses dari https://www.aljazeera.com/news/2020/03/physical-distancing-social-distancing-200330143325112.html  tanggal 28 Agustus 2020.

Galea, S., Merchant, R. M., & Lurie, N. (2020). The Mental Health Consequences of COVID-19 and Physical Distancing. JAMA Internal Medicine. doi:10.1001/jamainternmed.2020.1562.

World Health Organization. (2020). Pertanyaan dan jawaban terkait Coronavirus. Diakses dari https://www.who.int/indonesia/news/novel-coronavirus/qa-for-public  tanggal 28 Agustus 2020.

Sumber gambar:

asia.nikkei.com  (asia.nikkei.com/Spotlight/Coronavirus/Indonesia-prepares-to-open-economy-even-as-COVID-19-risk-lingers)

Gambar: journal.sociolla.com (https://journal.sociolla.com/lifestyle/tips-atasi-kesepian-tidak-bisa-mudik)