Mewujudkan Penguatan Ekonomi Rakyat dan Lingkungan Berkeadilan melalui Keuangan Berkelanjutan

Yogyakarta, 10 Oktober 2022–Social Research Centre (SOREC) Fisipol UGM berkolaborasi dengan TuK Indonesia, The Prakarsa, dan Responsibank Indonesia menyelenggarakan seminar bertajuk “Tata Kelola Keuangan Berkelanjutan untuk Penguatan Ekonomi Rakyat dan Lingkungan yang Berkeadilan” pada Senin (10/9) di University Club, UGM. Sebanyak 13 narasumber dihadirkan untuk menjadi pembicara, diantaranya Dr. Yulius MA, Deputi Bidang Usaha Mikro Kementerian Koperasi dan UKM; Ah Maftuchan, Direktur Koalisi Responsibank Indonesia; dan Arie Sujito, Wakil Rektor UGM.

“Seminar ini sangat relevan di tengah upaya mengedepankan pertumbuhan berkelanjutan,” ungkap Yulius saat membuka seminar. Terlebih, terdapat potensi ancaman krisis yang diprediksi akan terjadi pada 2023 mendatang. Oleh karena itu, dibutuhkan tata kelola keuangan yang berkelanjutan untuk menghadapinya.

Sustainable finance dalam bisnis tidak hanya dapat menghasilkan, tetapi juga berkontribusi terhadap kondisi lingkungan dan sosial yang lebih baik,” ujar Ah Maftuchan, menegaskan pernyataan Yulius.

Sejalan dengan apa yang diungkapkan Yulius dan Ah Maftuchan, menurut Arie, keuangan berkelanjutan merupakan tata kelola yang sehat yang bisa memiliki kemampuan untuk menjadi mandiri dan akuntabel. “Tidak hanya menjawab problem teknis, tetapi juga merupakan tata kelola yang bermakna,” tukas Arie. Menurutnya, tata kelola keuangan berkelanjutan dapat menjadi basis ekonomi kerakyatan, suatu diskursus yang acap kali terekslusikan di tengah gempuran neoliberalisme.

Masih relevan dengan ungkapan Arie, seminar dilanjutkan dengan sesi pertama yang bertajuk “Menyeimbangkan Dukungan Peran Perbankan antara Industri Berisiko Tinggi dengan Ekonomi Kerakyatan”. Saat ini, kontribusi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) terhadap perekonomian Indonesia lebih sedikit apabila dibandingkan dengan usaha-usaha besar. Hal tersebut dikarenakan rata-rata proporsi kredit yang disalurkan oleh perbankan dan lembaga keuangan terhadap UMKM hanya sebanyak 27%, sedangkan terhadap usaha besar sebanyak 62%.

Menurut Bustar Maltar, founder Kobumi, akses minim yang diberikan terhadap UMKM dikarenakan tidak ada jaminan yang dapat diberikan oleh UMKM. “Jika UMKM tidak dianggap dapat memberikan perputaran uang yang cair, jangan harap diberikan dana yang signifikan,” jelasnya. Menariknya, John Sarjono, Regional CEO BRI RO Yogyakarta, mengungkapkan bahwa portofolio kredit UMKM yang diberikan oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) sebanyak 86%. “Pemerintah melalui Kementerian BUMN, mengharuskan portofolio BRI pada 2022, 80 persennya harus di UMKM, dan pada 2025 harus 85%,” ungkap John.

Menurut Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif TuK Indonesia, dalam 5 tahun terakhir, sebanyak 56 miliar dolar AS digelontorkan bagi industri sawit dan pertambangan dengan 37% kreditor berasal dari Indonesia. “Ironisnya, perusahaan-perusahaan yang didanai ini memiliki dampak sosial dan lingkungan,” kata Edi. Menurutnya, salah satu prinsip keuangan berkelanjutan, yaitu bertanggung jawab, tidak terlaksana. Pasalnya, terdapat banyak kasus di mana dana APBN harus dikeluarkan untuk mengatasi dampak dari kegiatan operasional industri tersebut, seperti kebakaran hutan pada tahun 2019 di Kalimantan.

Seminar kemudian dilanjutkan dengan sesi dua yang menghadirkan lima narasumber dari berbagai latar belakang dengan tema “Mendorong Penguatan Ekonomi Rakyat dan Lingkungan yang Berkeadilan”.