Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang bakal dilaksanakan tiga bulan lagi membuat perbincangan politik semakin mengemuka. Bahkan Pemilihan Legislatif dan Presiden yang akan digelar setahun lagi sudah terasa atmosfernya, terutama di media digital. Aktor politik Milenial menjadi topik yang khas dalam rutinitas demokrasi kali ini. Selain karena populasinya yang semakin dominan, ada partai politik baru yang mendaku sebagai perwakilan kaum milenial.
Melihat kondisi itu, Intelektual Muda Fisipol (IMF) berkolaborasi dengan Litbang Korps Mahasiswa Komunikasi (Komako) dan Career Development Center (CDC) mengadakan acara Fisipol Talk yang bertajuk “Politik á lá Milenial” pada Rabu (21/3) di gedung Fisipol. Dalam diskusi tersebut dibahas kontribusi milenial dalam politik, cara-cara apa yang mungkin dilakukan oleh Milenial jika ingin terjun di dunia politik, dan peluang-peluang yang ada.
Nyarwi Ahmad, S.IP, M.A salah satu pembicara, menilai Milenial masih menjadi pasar politik. Milineal hanya menjadi kelompok yang dijadikan target mendulang suara untuk mengukuhkan kekuasaan lama. Hal itu, kata Nyawri, bisa diamati saat para Milenial berbicara tentang politik. “Yang muncul bahasa-bahasa entertainment, bukan substansinya,” ujar Nyarwi. Ia menyoroti perilaku Milenial yang terbawa arus kelompok sorak yang melakukan pujian dan cacian tidak berdasar terhadap tokoh atau peristiwa politik tertentu. Padahal, menurut dosen Departemen Ilmu Komunikasi ini, Milenial harus bisa membawa alternatif baru ke dunia politik. Gagasan-gagasan baru dari para Milenial sangat diharapkan untuk menghadapi lanskap politik yang sudah sangat berubah. Sebab di era industri 4.0 ini, politik sudah semestinya tidak terjebak pada cara-cara lama.
Menyambung pendapat Nyarwi, pembicara kedua yaitu Azifah Retno Astrina, S.IP, M.A, yang kerap disapa Ina, memberi contoh gagasan yang bisa dibawa Milenial ke panggung politik. “Bagaimana Milenial bisa memotong panjangnya birokrasi?” Ina bertanya kepada peserta diskusi yang seluruhnya Milenial. Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan ini menilai, ide perbaikan birokrasi adalah contoh gagasan konkret yang bisa dibawa Milenial dalam menggunakan hak-hak politiknya. Apalagi kini muncul begitu banyak inovasi digital di bidang birokrasi. Gagasan seperti ini dinilai lebih bersubstansi dan ditunggu publik ketimbang terbawa arus bising politik dunia maya.
Ina percaya Milineal bisa memberikan perubahan yang signifikan. Milenial mampu mengubah pola pikir yang telah usang. Hal ini didukung dengan karakter Milenial yang langsung melakukan praktik, lalu evaluasi, baru kemudian menggarap agenda setting. Tentu ini berbeda dengan perilaku politik generasi sebelumnya yang terlalu lama merencanakan agenda setting.
Nyarwi menekankan, apabila Milenial ingin mendirikan partai, maka harus tumbuh dari bawah. Milenial perlu melepaskan diri dari ketergantungan pada partai-partai lama atau organisasi kemasyarakatan gaya lama. Ini penting untuk tetap mempertahankan independensi. Selain itu, agar inovasi baru yang ditawarkan di era ini tetap terbuka lebar. Misalnya, dengan memanfaatkan media sosial sebagai salah satu modal politik. “Dulu, kalau orang ingin mengadakan pertemuan harus berkumpul. Biaya politik menjadi mahal,” kata Nyarwi. Kondisi semacam ini bisa diubah dengan hadirnya media sosial dan berbagai medium digital yang telah menjamur. Media digital membuat orang yang terpisah oleh jarak dapat terhubung. Sebab, menurut Nyarwi, nafas dari politik adalah keterhubungan gagasan. “Inti politik itu apa? Koneksi. Satu sama lain terhubung,” katanya. Di sisi lain, Ina menambahkan, modal politik generasi Milenial adalah informasi.
Dunia politik kini sudah mulai tidak mengenal aturan hierarki. Dengan adanya media sosial, politik menjadi egaliter, semuanya sama rata. Nyarwi memberi contoh fenomena politik Islam akhir-akhir ini yang menjadi pertanyaan salah satu peserta diskusi. Pascareformasi, menurut Nyarwi, standar seseorang disebut ulama menjadi berubah. Jikalau dahulu ulama adalah seseorang yang sudah menguasai tingkat keilmuan tertentu, kini orang yang kerap muncul di berbagai medium digital mulai dianggap sebagai ulama. Sayangnya, para tokoh Islam tidak muncul secara nyaring di media sosial.
Kesuksesan para ‘ulama digital’ adalah akibat dari media sosial yang menawarkan dunia datar, yaitu dunia tanpa hierarki. “Order tidak bisa lagi dijalankan, karena hierarki hilang. Tower-nya runtuh. Yang ada alun-alun. Kenceng-kencengan menggonggong,” pungkas Nyarwi. Ia khawatir, generasi Milenial hanya menjadi orang bingung di tengah alun-alun.
Dalam pusaran media sosial yang tanpa hierarki, konsep-konsep politik tentu menjadi berubah. Nyarwi menyarankan generasi Milenial mencari terlebih dahulu konsep politik masa kini. Baru setelah itu generasi Milenial bisa tampil dengan narasi politik yang berbeda.
Nyarwi memang tidak menepis anggapan generasi Milenial apolitis. Menurutnya, itu diakibatkan oleh lingkungan dan komunitas yang sudah lebih dulu apolitis. Ditambah lagi dengan tidak diajarkannya pendidikan politik bagi para Milenial. Namun, ia masih optimis Milenial mampu menggores sejarah politiknya sendiri. (/dim)