Karl Marx muda digambarkan sebagai sosok yang bersemangat dan penuh gairah dalam perlawanan kaum buruh. Bersama sahabatnya Friedrich Engels, Marx muda terus berkarya dan mengkritik para Hegelian muda di Jerman. Kritik tersebut merupakan bentuk usaha menumbangkan penindasan kaum borjuis di Jerman, Perancis, dan London sampai akhirnya menerbitkan Manifesto Partai Komunis pada 1948.
Belajar dari sosok Marx, Rudiyanto (Dosen Universitas Kristen Satya Wacana), yang juga seorang Marxis, mengingatkan pentingnya minat ilmiah kaum muda. “Judul diskusi kita hari ini Kaum Muda, Perlawanan, dan Perubahan Sosial. Saya mau mengingatkan bahwa Marx dan Engels sampai tua tetap radikal, berbeda dengan para Hegelian muda yang penuh keprihatinan dan emosi. Mereka mendasarkan tulisan mereka pada penemuan ilmiah. Jadi, kalau mau memulai perlawanan untuk perubahan sosial, kita perlu mengembangkan pendekatan yang ilmiah sebagai pejuang,” katanya.
Rudiantoro mengatakan, orang yang tidak punya basis ilmiah kuat dalam perlawanan cenderung radikal saat masih muda saja. Setelah cukup mapan, akan cenderung jadi moderat, dan saat sudah tua malah jadi konservatif. Hal ini disampaikannya dalam pemutaran film The Young Karl Marx di Ruang Seminar MAP UGM, Fisipol Unit II Sekip.
Keilmiahan teori kelas Marx ini dibuktikan dari relevansinya yang semakin meningkat di masa modern. Rudiantoro mengatakan, memang terjadi demoralisasi masif yang dialami dari runtuhnya Uni Soviet dan pergantian haluan ekonomi Cina dan Vietnam yang menyebut diri rezim komunis. Kapitalisme juga menjadi semakin kreatif dengan surplus value yang semakin besar untuk pemilik moda produksi. “Kalaupun sekarang kapitalisme lebih bersahabat dengan perhatian lebih pada hak buruh, itu juga karena perjuangan kaum buruh melalui pergerakan. Jadi, selama surplus value tetap ada ekspansi dan eksploitas, saat itulah gagasan Marx semakin relevan. Kalau nggak pengen Marxisme relevan lagi, tumbangkan dulu kapitalisme,” ujar Rudiantoro.
Menurut Rudiantoro, film “The Young Karl Marx” yang baru dirilis tahun 2017 memiliki beberapa poin menarik. Yang pertama adalah fakta bahwa perjuangan kaum buruh dapat dipelopori oleh orang-orang dari kelas berbeda. Marx yang saat itu menjadi pemimpin editor di Rheinische Zeitung berasal dari kelas borjuis kecil, sedangkan istrinya Jenny von Westphalen berasal dari kelas bangsawan. Engels bahkan berasal dari kelas borjuis yang dalam film disebut tidak pernah merasakan kemiskinan. Ayahnya memiliki pabrik di London. Sebaliknya, Mary Burns, istrinya, berasal dari kelas proletar yang bekerja menjadi buruh pabrik.
“Penting untuk mengangkat keduanya dan menampilkan dua orang dari kelas berbeda setuju pada hal yang sama. Menumbangkan kapitalisme tidak secara mutlak terkait pada kaum tertentu. Memang tugas utama ada di kaum proletariat, tapi tidak menutup kemungkinan ada dari kelas lain,” kata Rudiantoro.
Peran perempuan juga dilihatnya sebagai aspek yang tidak dapat diabaikan. Dalam film, digambarkan bahwa Jenny dan Mary adalah dua sosok wanita yang sangat mendukung perjuangan Marx dan Engels, tetapi bukan dengan peran-peran tradisional seperti memasak. Mereka secara aktif menulis dan berkontribusi pada pendirian Liga Komunis yang sebelumnya adalah Liga Kaum Adil.
“Saya tidak setuju dengan pepatah di belakang pria yang sukses, ada wanita yang hebat. Kesannya memang seperti memuliakan wanita, tapi ini produk patriarki. Kita bisa lihat Jenny yang mendorong Karl Marx pergi ke London untuk bergabung dengan Liga Kaum Adil, serta Mary yang menjadi juru kampanye yang hebat. Jadi, di samping pria yang sukses, ada wanita yang hebat dan sukses pula,” kata Rudiantoro.
Sebelum mengakhiri diskusi, Rudiantoro mengingatkan kembali bahwa apapun sistem yang dianut masyarakat suatu negara, demokrasi harus tetap eksis. Belajar dari pengalaman Uni Soviet yang setelah Revolusi Bolshevik malah diperintah secara tersentral, demokrasi baginya akan menjadi penawar dari keburukan segala sistem. (/KOP)