Kasus penyerangan warga Syiah di Sampang, Madura pada Minggu, 26 Agustus 2012 kemarin masih menyisakan tanda tanya. Kasus penyerangan tersebut menimbulkan pertanyaan : Di mana negara? Akibatnya, keberadaan negara yang dibayangkan sebagai sebuah institusi tersebut menjadi dipertanyakan kapasitasnya. Alih-alih melindungi warganya, negara malah dianggap ‘menyengsarakan’ dengan aksi pembiaran penyerangan warga pada kasus Syiah, di Sampang Madura. Wacana tersebut bermuara pada munculnya kondisi negara gagal bahkan negara lemah di Indonesia.
Narasi demikian muncul dalam sebuah acara diskusi bertajuk State Capacity and Misconception of Failing and Week State : State Handling of Religious Violence in Shia Community in Sampang Regency, East Java Selasa (9/6) siang. Acara diskusi bulanan yang diselenggarakan oleh IIS Fisipol ini mengundang A’an Suryana (Ph.D. cand) mahasiswa Australia National University (ANU) sebagai narasumber.
Diskusi yang bertempat di Ruang IIS lantai 5 Gedung BA ini, diselenggarakan dalam rangka menyampaikan hasil temuan sementara penelitian untuk disertasi A’an Suryana di ANU. Penelitian ini dilakukan di dua dusun pada dua desa yang berbeda di Kecamatan Omben, Sampang Madura. Kedua dusun tersebut yakni, Dusun Nangkernang, di Desa Karanggayam dan Dusun Gading Laok, di Desa Bluk Uran.
Dalam penelitian ini, A’an menemukan dua hal yang menurutnya salah dalam diskursus mengenai kapasitas negara yang gagal bahkan cenderung lemah dalam kasus Syiah di Sampang. Pertama, pendekatan struktural-institusional yang digunakan dalam melihat adanya negara gagal dalam kasus itu dinilai tidak tepat.
“Pendekatan ini gagal lantaran terlalu melihat negara yang otonom dan terpisah dengan masyarakatnya. Padahal hasil temuan sementara di lapangan menunjukkan, keberadaan negara yang diwakili oleh aparat negara nyatanya tidak selalu seperti itu,” ungkap A’an.
Kedua, bahwa dalam wacana negara gagal tersebut hanya memandang entitas negara sebagai agen teknis pelaksanaan (state technical efficiency) kebutuhan-kebutuhan warganya.
Dalam hal ini, cara pandang demikian mengandaikan bahwa ukuran keberhasilan negara hanya diukur dari seberapa efisien mampu menyalurkan sekaligus memastikan kebutuhan warganya. Artinya, kapasitas negara hanya diukur secara kuantitas. Selain itu, cara pandang ini juga mengandaikan bahwa negara merupakan aktor tunggal dan tidak memiliki kepentingan sendiri.
“Cara pandang ini juga dinilai tidak tepat lantaran mengandaikan bahwa negara tersebut tidak memiliki kepentingan sendiri,” tutur laki-laki yang bekerja untuk media The Jakarta Post ini.
Sementara itu, dalam studi yang dihasilkan juga memunculkan sosok-sosok kuat daerah yang turut memberi dinamika konflik Syiah di Sampang. Sosok yang paling disorot oleh A’an terutama adalah kyai-kyai di Sampang yang ternyata sangat dihormati dan berpengaruh bagi masyarakat di Sampang, Madura. Selain kyai, juga ada organisasi blatter yang juga dianggap punya pengaruh besar bagi dinamika sosial, ekonomi dan politik di Sampang. (D-OPRC)