Yogyakarta, 23 April 2024–Indonesia terdiri atas berbagai keragaman yang menjadikannya suatu bangsa yang besar. Hal tersebut tentunya tidak terjadi begitu saja. “Bagaimana bangsa yang beragam dengan ethnoreligious communalities ini bisa jadi bangsa yang besar?” tanya Siti Ruhaini Dzuhayatin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, ketika menjadi narasumber dalam acara Diskusi dan Bedah Buku “Jalan Baru Moderasi Beragama: Mensyukuri 66 Tahun Haedar Nashir” pada Selasa (23/4) di Auditorium Mandiri Fisipol UGM. Ruhaini berkata bahwa eksistensi organisasi keagamaan memiliki peran signifikan dan sentral dalam membesarkan Indonesia sebagai sebuah bangsa. Terdapat suatu proses sosiologis yang dilakukan oleh organisasi-organisasi tersebut dalam mentransformasi sentimen-sentimen etnoreligius menjadi public virtue sehingga bangsa tidak mudah digoyahkan oleh sentimen-sentimen tertentu.
Lebih lanjut, Izak Lattu, Dekan Fakultas Teologi UKSW, berkata bahwa sosiologi merupakan kunci utama untuk membuka relasi lintas agama. Hal tersebut tentunya relevan dengan latar belakang yang dimiliki oleh Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, yang cukup dikenal dengan tawaran konsep moderasi beragamanya. “Moderasi beragama seharusnya menjadi DNA, bukan semata-mata program pemerintah. Baiknya terinternalisasi pula di setiap penduduk Indonesia. Bagaimanapun juga, ini menjadi salah satu cara memperkuat pilar-pilar kebangsaan Indonesia agar bisa maju bersama-sama,” ungkap Izak.
Konsep moderasi beragama yang ditawarkan oleh Haedar kemudian ditarik lagi dalam konsep kebangsaan. Misal, dalam persoalan terorisme, negara banyak melakukan pendekatan-pendekatan seperti deradikalisasi dan kontra radikalisasi yang dianggap tidak solutif oleh Haedar. “Menggunakan pendekatan radikal terhadap tindakan radikal itu bisa melahirkan radikalisme baru. Kita seharusnya meletakkan persoalan bangsa secara moderat,” ungkap Haedar. Muhammad Najib Azca, Dosen Senior Fisipol UGM, juga menambahkan, “Moderasi adalah bagaimana kita bisa merangkul semuanya. Mengakomodasi kelompok kanan, kiri, semuanya dirangkul.” Pernyataan ini mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) KE-16 yakni Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh. Lebih lanjut, Najib juga menekankan pentingnya menggunakan sosiologi menjadi sebuah alat baca atau perspektif dalam memandang suatu permasalahan bangsa.
Untuk memperkaya diskusi, acara yang diselenggarakan oleh Departemen Sosiologi Fisipol UGM bersama dengan Social Research Center (SOREC) Fisipol UGM dan IBTimes ini juga menghadirkan Sugeng Bayu Wahyono, Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta. Menurut Bayu, eksistensi bangsa Indonesia terletak pada keberagamannya. Oleh karena itu, Indonesia memerlukan tokoh pemimpin yang tidak partisan. “Perlu ada tokoh yang tidak partisan, bahkan bukan sekadar negarawan tetapi pemimpin yang beyond,” tutup Bayu.