Polgov DPP bersama dengan Creative Hub Fisipol UGM menggelar talkshow terkait media dan politik Indonesia pada Jum’at (19/01). Bertempat di Digilib Cafe Fisipol UGM, talkshow yang bertajuk “New Media and Politics in Indonesia: Oligarchs, Citizens, and the Digital Revolution” ini mengundang Dr Ross Tapsell sebagai pembicara. Dosen College of Asia and the Pasific di the Australian National University ini baru saja menerbitkan buku dengan tema serupa. Kegiatan berlangsung hangat dengan interaksi diskusi dua arah.
Media Indonesia tentu bergerak dinamis mengikuti perkembangan zaman. “Hingga kini, dapat diperhatikan bahwa ketika terdapat bentuk media baru, maka hal tersebut dapat berdampak pada berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hal politik,” ungkap Tapsell. Misalnya saja, sejak era kemerdekaan, muncul beragam media cetak seperti Kedaulatan Rakyat maupun Sinar Harian yang memiliki tujuan untuk mempromosikan nilai dan berita kemerdekaan republik. Setelah teknologi digital perlahan masuk, terjadi perubahan media yang berdampak pada perpolitikan Indonesia. Misal, ketika televisi masuk untuk pertama kalinya ke Indonesia. Kontrol penyiaran televisi yang dipegang oleh pemerintah dinilai berjalan beriringan dengan karakter politik Indonesia saat itu yang otoriter.
Hingga pada dekade 1990an, muncul televisi satelit yang memungkinkan adanya kepemilikan media. Hal ini berjung pada apa yang disebut oleh Tapsell sebagai ‘oligarki media’. Beberapa lini media besar Indonesia dikuasai oleh pihak-pihak di luar pemerintah seperti Aburizal Bakrie, Surya Paloh, dan lain-lain. “Sehingga terjadi perubahan, yaitu dari government-owned menjadi oligarki media,” ujar Tapsell.
Era paska reformasi dibarengi dengan perkembangan pesat dari internet. Pada era ini, siapapun dapat mengutarakan pendapat dengan bebas melalui berbagai platform mediasosial seperti Facebook, Line, WhatsApp, Twitter hingga Instagram. Melalui akses yang luas dan seakan tak berbatas ini, geliat aktivisme masyarakat dalam dunia online terhadap isu-isu politik di Indonesia dinilai meningkat.
Data statistik memperlihatkan bahwa sebanyak hanya 25 persen orang Indonesia yang dapat mengakses internet. Bersadar data ini, teridentifikasi kebanyakan dari mereka tergolong berusia muda, tinggal di kota dan merupakan kelas menengah. Sehingga, penelusuran media digital Indonesia sebagian besar merupakan representasi dari kelompok ini.
Tapsell juga menemukan bahwa masyarakat Indonesia dewasa ini mengalami penurunan tingkat kepercayaan terhadap media mainstream. Hal ini dikarenakan masyarakat yang makin jenuh terhadap debat politik maupun propaganda yang dibawa. Lebih lanjut, adanya bias media-media kaliber Indonesia terhadap isu politik juga mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat. Hal ini kemudian menjadi masalah yang serius bagi kelangsungan oligarki media Indonesia. “Dewasa ini orang-orang lebih mempercayai berita yang disebarkan oleh temannya melalui media sosial seperti WhatsApp dibanding dengan media mainstream,” lanjut Tapsell. Dirinya juga menambahkan bahwa masyarakat digital Indonesia memiliki kecenderungan untuk memiliki kelompok-kelompok kecil yang memiliki identitas maupun pemikiran yang sama. (/FM)