Yogyakarta, 20 Juni 2020—Dewan Mahasiswa (DEMA) Fisipol mengadakan talkshow daring Ngobrol Yuk #1 bertajuk “Kenali dan Perangi Kekerasan Seksual” pada Sabtu (20/6). Ngobrol Yuk #1 kali ini menghadirkan dua pembicara yaitu Michelle Gabriela, Komite Internasional Woman’s Day Yogyakarta 2019—2020 dan Frenia Nababan, spesialis advokasi kebijakan dan advokasi publik. Talkshow dimulai pukul 15.30 WIB melalui platform Google Meet.
Michelle mengawali diskusi dengan pemaparan terkait realitas kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat. Banyak tempat-tempat yang dianggap seharusnya aman dari kekerasan justru menjadi tempat terjadinya kekerasan, contohnya pada keluarga, tempat ibadah, sekolah dan universitas. Michelle juga menyebutkan bahwa pelaku kekerasan seksual bukan orang asing tetapi juga orang terdekat. Selain itu penelitian Linda Gordon menemukan bahwa laki-laki juga diperkosa dan perempuan bisa menjadi pemerkosa. Kekerasan seksual juga terjadi pada hubungan homoseksual. “Kekerasan seksual tidak memandang gender dan juga tidak hanya terjadi pada hubungan hetero saja,” ungkap Michelle.
Michelle juga melanjutkan, bahwa pelecehan seksual tidak hanya terbatas pada pemerkosaan tetapi juga ada pelecehan gender. Penyataan atau perilaku seksis yang menghina atau merendahkan seseorang juga bisa dianggap sebagai pelecehan seksual. Lebih lanjut, pelecehan seksual adalah saat seseorang menjadikan orang lain baik secara fisik maupun verbal sebagai obyek. “Kekerasan seksual tidak melulu tentang penetrasi vagina dan penis,” tutur Michelle.
Mengenai dampak terhadap kekerasan seksual, Michelle menuturkan kekerasan seksual berdampak traumatis pada korban, apalagi ditambah adanya stigma yang menambah trauma korban kekerasan seksual. Bagi Michelle, dibutuhkan keberanian bagi korban dan penyintas untuk menyuarakan kasus yang mereka alami, selain juga perlu adanya dukungan yang memadai dari lingkungan sekitar. Tidak hanya itu, diperlukan gerakan masif untuk melawan kekerasan seksual. “Memang penting untuk memperhatikan kondisi psikologis penyintas, tetapi kita juga harus mendorong penyintas untuk melawan,” timpal Michelle.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan seksual. Salah satu yang disebutkan Frenia yaitu akses dan posisi tidak setara yang dialami korban. Selain itu juga karena adanya budaya patriarki, dan pemahaman dominan akan budaya seksualitas normal. “Budaya seksualitas yang menganggap segala seksualitas di luar normal adalah tidak normal, juga turut melanggengkan terjadinya kekerasan seksual,” sebut Frenia.
Frenia melanjutkan pambahasan dengan mengaitkan kekerasan seksual dalam konteks advokasi di kampus. Menurutnya, ada beberapa langkah yang perlu dilakukan, misalnya keberadaan peraturan dan tata laksana pedoman yang mengatur pemulihan korban. Tidak hanya pemulihan, tetapi juga sanksi untuk pelaku serta definisi mengenai kekerasan seksual itu sendiri. “Kalau tidak, bagaimana bisa orang tahu bahwa yang diatur adalah pelecehan atau kekerasan seksual,” imbuh Frenia. Selain tata laksana peraturan, budaya atau cara pandang civitas akademika juga perlu dipertimbangkan. Misal, apakah mereka menganggap masalah kekerasan seksual sebagai masalah bersama atau tidak.
Beberapa hal krusial terkait perlindungan dan pemulihan korban juga dipaparkan oleh Frenia. Misalkan, menjaga prinsip kerahasiaan dan keselamatan korban. Selain itu juga perlu mempertimbangkan relasi dan meminimalisir adanya tindakan balasan antara korban dan pelaku. Kepentingan terbaik bagi korban juga perlu dikedepankan. Hal ini sangat tergantung dari kesiapan korban dan pertimbangannya, misal penyediaan bantuan konseling dari biro psikologi atau visum fisik dan psikologis. Korban juga perlu diberikan kompensasi atas perbuatan yang tidak menyenangkan. “Kompensasi perlu diberikan, karena kerugian yang dialami tidak hanya material, tetapi juga non-material,” imbuh Frenia. (/anf)