[OPINI] Polemik Musik di Ruang Publik, Dosen UGM: Pemerintah Perlu Awasi Transparansi Sistem Royalti

Yogyakarta, 25 Agustus 2025─Di tengah ramainya kafe, restoran, pusat perbelanjaan, dan tempat-tempat lainnya yang menjadikan musik sebagai pengiring suasana, muncul isu di tengah masyarakat mengenai aturan pemutaran musik di ruang publik. Terlebih ketika pemberitaan memberitahukan bahwa saat ini pemerintah dan LMK tampak sedang menegaskan kembali kewajiban membayar royalti untuk pemutaran musik Indonesia di tempat-tempat seperti kafe, restoran, hotel, hingga pusat perbelanjaan. Bahkan, tidak jarang yang menjadikan isu ini sebagai meme atau bercandaan digital lainnya yang ada di media sosial saat ini.

Menurut Dr. Wisnu Martha Adiputra, S.I.P., M.Si., Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, perlu membedakan kategori ruang publik yang komersial dan nonkomersial. Sebab, musik yang diputar di ruang komersial akan terikat dengan konsekuensi-konsekuensi perundang-undangan yang berlaku. “Saat ruang publik digunakan untuk kepentingan komersial, musik yang diputar di dalamnya jelas masuk ke dalam rezim hak cipta. Lain halnya bila hanya diputar untuk kepentingan pribadi, itu tidak dikenakan royalti,” jelasnya.

Wisnu melihat bahwa sebenarnya sudah ada kebijakan yang mengatur terkait hal ini, yaitu Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014. Undang-undang ini mengatur bahwa pemutaran musik baik musik dalam negeri maupun luar negeri di ruang publik, khususnya di ruang komersial seperti kafe, restoran, hotel, dan pusat perbelanjaan, wajib memberikan royalti kepada pencipta, penyanyi, atau yang memiliki hak dalam karya tersebut. Namun, ia menilai bahwa pelaksanaannya masih menyisakan berbagai persoalan terutama soal transparansi dan sosialisasi. 

Ia menilai bahwa meskipun regulasinya sudah jelas, banyak dari masyarakat publik yang belum sepenuhnya memahami makna royalti. Bahkan, ia juga menilai bahwa kalangan bisnis pun belum memahami secara utuh makna royalti. “Bukan hanya masyarakat luas, tetapi juga kalangan bisnis belum paham. Sebelumnya sudah ada pertikaian dengan penyanyi dengan pencipta, kasus terakhir tentang mie gacoan, belum lagi media yang menambah riuh.,” ujarnya.

Selain itu, ia juga melihat bahwa terdapat persoalan lain terkait dengan transparansi pengelolaan royalti oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Sebagai lembaga nirlaba yang bertugas untuk mencatat dan menyalurkan royalti, LMK dinilai belum memiliki mekanisme pembagian yang jelas oleh pelaku industri musik. “Sosialisasi yang masih kurang dan transparansi LMK/LMKN terkait dengan pembagian royalti,” ungkapnya.

Polemik ini kemudian membuat Wisnu berpikir akan ekosistem yang suportif dan adil terkait dengan karya musik di dalam isu ini. Ia melihat perlu adanya upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya royalti. Royalti kemudian tidak hanya dilihat sebagai biaya tambahan, melainkan sebagai bagian dari ekosistem kreatif.  Dengan edukasi yang tepat, royalti dapat dipandang sebagai bentuk apresiasi terhadap kerja seni. Peran ini yang kemudian ia lihat menjadi peran krusial teman-teman media untuk membangun kesadaran bersama.

Ia juga menambahkan pentingnya tanggung jawab pemerintah dalam isu ini. Ia berharap pemerintah dapat berperan lebih aktif agar sistem royalti ini berjalan secara transparan, termasuk melindungi musisi independen dan pelaku UMKM secara bersamaan. “Di luar negeri, sistem pencatatan sudah digital dan transparan, musisi bisa tahu berapa yang mereka terima. Indonesia seharusnya bisa menuju ke sana,” kata Wisnu.

Terakhir, ia menilai bahwa polemik ini menunjukkan bahwa perbedaan royalti musik di ruang-ruang publik khususnya komersial tidak hanya menjadi persoalan regulasi, melainkan isu yang melibatkan kesadaran kolektif untuk menghargai kreativitas. Ia juga optimis menemukan titik tengah yang adil bagi berbagai pihak termasuk musisi dan pelaku-pelaku usaha kecil yang sering kali menggunakan lagu sebagai pengiring suasana.