Yogyakarta, 4 September 2019—Di kehidupan modern seperti sekarang, ilmu menjadi fondasi dari berbagai hal. Posisi pendidikan yang penting bagi kehidupan manusia, tak berlebihan jika ilmu dianggap sebagai komposisi inti peradaban.
Menyadari hal tersebut, pada hari Rabu lalu, Jamaah Muslim Fisipol UGM mengadakan diskusi bertajuk “Padepokan Al-Arqam: Adab Atas Ilmu, Masih Relevankah?”. Diskusi berlangsung secara khidmat dan intens di Selasar Timur Fisipol UGM. Dalam diskusi tersebut, Ismail Al A’lam (Dewan Ketua Yayasan Bentala Tamaddun Nusantara) dan Prof. Drs. Purwo Santoso, M.A., Ph.D. (Dosen Departemen Politik & Pemerintahan UGM) membagi pandangan masing-masing soal adab terhadap ilmu yang kurang mendapat perhatian masyarakat umum.
Pada termin diskusi pertama, Ismail banyak memaparkan pengertian ilmu dan adab secara konseptual. Penjelasan darinya menjadi bekal cukup bagi diskusi yang berlangsung selama dua jam. “Dalam Islam, adab bukan hanya kumpulan etiket yang bersifat lahiriah dengan kodifikasi-kodifikasi tertentu,” papar Ismail. Berawal dari situ, sebagai umat Muslim, Ismail berpesan kepada kita agar seyogyanya memahami adab secara komprehensif. “Karena Rasulullah datang kepada kita untuk menyempurnakan akhlak atau adab,” tambah Ismail.
Pembahasan soal adab memang bukan hidangan yang menggugah selera bagi umat Islam di tengah gempuran modernisasi. Bahkan, praktik adab secara riil di pesantren oleh para santri kepada kyai misalnya, tutur Ismail, dianggap sebagai usaha penyuburan feodalisme yang kolot. Padahal, dalam Islam kita mengenal hadits berbunyi “Al-adab fauqal ‘ilmi” yang berarti “adab lebih utama daripada ilmu”. “Dan iblis menjadi makhluk yang dimurkai oleh Allah karena mereka tak punya adab,” lanjut Ismail. Melanjutkan diskusi dengan cakupan yang lebih spesifik, Prof. Drs. Purwo Santoso, M.A., Ph.D. membawa sudut pandang yang sama sekali baru bagi audiens. Ia mengkritisi tradisi keilmuan dan struktur berpikir manusia modern, termasuk di kampus tempat ia mengajar.
Purwo membuka termin diskusi kedua dengan mengucapkan satu kalimat yang menyita perhatian. “Pertaruhan dan pembahasan tentang ilmu adalah soal makna. Dan makna adalah tentang kebenaran,” ungkap Purwo. Purwo memaparkan, dalam pendidikan modern yang basisnya adalah industrilisasi dan kapitalisme, kategorisasi dan tingkatan keilmuan sudah sulit kita temui. Sementara kebenaran, perlu kita sadari, tidak lagi menjadi tujuan utama segala macam praktik keilmuan. “Bagi ilmu pengetahuan modern, yang menjadi sasaran utama adalah tercapainya objektivitas. Sementara objektivitas, kita tahu, adalah usaha untuk tidak memihak apapun meskipun dengan mengesampingkan kebenaran,” lanjut Purwo.
Bagi Purwo, kebebasan pendapat yang menjadi produk demokrasi menempatkan masyarakat pada problem epistemologis tertentu. “Demokrasi membuat semua orang bisa bebas berbicara. Akibatnya, jika setiap orang bebas mengutarakan pendapat, setiap orang juga dapat dengan bebas merasa memiliki otoritas keilmuan,” jelas Purwo.
Diskusi terus berlangsung sekaligus membawa audiens pada kerangka bepikir yang asing, namun segar. Paradigma dalam Padepokan Al-Arqam semacam ini seringkali memang tak mendapat tempat di tradisi keilmuan kampus. Sebelum azan Magrib, moderator menutup diskusi. Setelah diskusi berakhir, tak berlebihan bagi audiens untuk mengajukan sebuah pertanyaan: Apakah kita, manusia modern, hidup dalam peradaban yang rentan, bahkan dengan pondasi yang koyak? (/Snr)