
Yogyakarta, 13 Agustus 2025—Viral di media sosial penggunaan bendera animasi jepang One Piece menjelang Hari Kemerdekaan Republik indonesia. Simbol bajak laut dari serial anime karya Eiichiro Oda tersebut digunakan sebagai bentuk protes dan ekspresi kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah. Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol), Universitas Gadjah Mada, Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, memberi tanggapan terhadap aksi solidaritas masyarakat tersebut pada Sabtu (9/8).
“Ini muncul sebagai simbol kegelisahan publik yang merasa simbol-simbol resmi kenegaraan dinilai terlalu suci untuk dikibarkan di tengah negara yang sakit,” ujar Alfath. Rentetan isu dan problematika negara yang tidak terselesaikan dengan baik membuat kepercayaan masyarakat semakin merosot. Negara dianggap tidak hadir dan berperan dalam menyediakan ruang keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Disampaikan Alfath, fenomena ini mirip dengan meme atau humor politik. Ada lapisan kritik yang dibungkus secara halus dengan simbol-simbol dan bahasa unik. Tentunya fenomena ini sudah menjadi hal biasa dalam dinamika politik nasional. Bentuk ekspresi masyarakat adalah bagian dari kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi. Ekspresi kritik melalui humor juga telah lama digunakan karena dapat menjadi sarana penyajian opini politik yang tidak kaku dan asik.
Sayangnya, aksi masyarakat tersebut beberapa kali dipandang sebagai ancaman oleh pemerintah. Selain dinilai tidak nasionalis, beberapa tanggapan pejabat dan instansi pemerintah justru bersifat represif terhadap aksi tersebut. Padahal menurut Alfath, tidak ada yang salah ataupun perlu dirisaukan soal selera humor politik. Justru ini menunjukan bahwa masyarakat peduli pada kondisi negara yang ditunjukan melalui partisipasi terhadap situasi politik.
“Kreatif itu oke. Saya merasa kemerdekaan ini harus diisi dengan refleksi yang mendalam dari setiap individu,” tambah Alfath. Selama bentuk ekspresi tersebut tetap dikibarkan di bawah bendera Indonesia, maka tidak ada yang perlu dianggap sebagai gerakan perlawanan yang serius. Masyarakat hanya menyampaikan ketidakpuasan akan kinerja pemerintah dalam setahun terakhir. Alfath melanjutkan, ini adalah momentum untuk merayakan keberagaman sekaligus menyuarakan keprihatinan atas situasi negara yang mengalami banyak persoalan.
Pada akhirnya, ekspresi kekecewaan tersebut perlu menjadi perhatian pemerintah. Masyarakat selama ini tidak diam, melainkan ada banyak kegelisahan yang selama ini kurang didengar oleh pemerintah. Alih-alih dianggap sebagai suatu bentuk ancaman terhadap pemerintah, fenomena pengibaran bendera One Piece sebaiknya direspon dengan dialog dan edukasi. Pemaknaan akan simbol negara bisa diperdalam melalui metode yang sesuai dengan unsur-unsur lokalitas masyarakat, khususnya anak muda.
“Padahal dalam animasinya, banyak cerita yang sangat relevan untuk membaca politik Indonesia. Ajak anak muda memahami makna simbol negara, bukan langsung melarang atau menghukum,” pungkas Alfath.
Fenomena ini seharusnya menjadi alarm bagi negara: rakyat tidak diam, hanya saja suaranya sering diabaikan. Humor politik adalah cermin kegelisahan yang nyata—dan menertawakannya mungkin adalah cara rakyat untuk tidak putus asa. (/tsy)