Munculnya RUU Kebudayaan mulai menimbulkan kontroversi di masyarakat terutama dikalangan seniman dan pegiat kebudayaan. Ada yang berpendapat bahwa RUU Kebudayaan tidak diperlukan sebaliknya ada yang menimbang RUU ini penting lantaran saat ini kebudayaan mulai diserang dari berbagai sisi. Selain itu, perdebatan mengenai RUU Kebudayaan yang mengemuka di media massa cenderung terjebak pada pasal-pasal kontroversial salah satunya perlindungan terhadap rokok kretek yang dinilai sebagai bagian dari warisan kebudayaan. Lebih daripada itu, RUU Kebudayaan ini dinilai tidak mampu membaca zaman dan cenderung menganggap kebudayaan sebagai sebuah benda bukan sebagai sebuah proses berbudaya.
Menanggapi permasalahan tersebut, selain untuk membuka perdebatan serta meminta masukkan yang lebih luas dari berbagai kalangan Badan Legislasi DPR RI, Esti Wijayanti Inisiatif dan Sosiologi Research Center (SOREC) menyelenggarakan diskusi bertajuk RUU Kebudayaan : Mempertajam Arah dan Strategi Pengembangan Kebudayaan Indonesia pada Sabtu (3/10) pagi. Acara yang bertempat di Ruang Seminar Timur FISIPOL Lt. 2 menghadirkan lima orang panelis dan dihadiri sekitar 80an orang baik akademisi, praktisi seni, budayawan dan mahasiswa. Kemudian kelima panelis tersebut yakni, My Esti Wijayanti (Anggota DPR RI Komisi X), Prof. Faruk HT (Guru Besar FIB), Dr. Gregorius Budi Subanar (Dosen Ilmu Religi dan Budaya USD), Indra Trenggana (Budayawan) dan Lambang Trijono, M.A (Sosiolog UGM).
Dalam diskusi tersebut, Prof. Faruk menilai bahwa pada level paradigmatik RUU Kebudayaan ini sudah ketinggalan zaman. Hal itu dibuktikan dengan penggunaan definisi-definisi budaya dan kebudayaan tahun 1970an merujuk pada Koentjaraningrat. Padahal saat ini kebudayaan sangat dinamis apalagi ditambah dengan munculnya teknologi.
“Saya kira RUU ini seharusnya disusun oleh mereka yang bergelut di bidang budaya dan kebudayaan secara langsung. Bagaimana mungkin RUU mau mampu menyelesaikan persoalan di masyarakat kalau fenomenanya saja mutakhir tetapi definisinya ketinggalan zaman?” katanya.
Senada dengan Prof. Faruk, Dr. Gregorius Budi Subanar atau akrab disapa Romo Banar menilai bahwa kemunculan dari RUU Kebudayaan ini adalah hasil dari ‘manajemen panik’. Dalam hal ini pemerintah panik melihat bahwa budaya dan kebudayaan yang seharusnya menjadi karakter dan indentitas bangsa mulai tergerus oleh globalisasi sehingga kalah bersaing.
“Saya melihat RUU ini muncul dari sebuah menejemen panik dari pemerintah sehingga hasilnya juga kurang memuaskan terutama jika kita melihat dari tafsirnya terhadap kebudayaan,” tuturnya.
Selain itu, menurut Romo Banar, secara substansial RUU Kebudayaan ini lebih banyak mengandung unsur kebendaan dalam hal ini melihat budaya sebagai sebuah benda. Selanjutnya ia juga mempertanyakan bahasa dan buku yang seharusnya muncul dalam RUU ini.
Lambang Trijono, Sosiolog UGM dalam diskusi tersebut lebih menekankan pada persoalan mengapa negara harus hadir di lapangan kebudayaan. Meski demikian, ia menggarisbawahi bahwa dengan munculnya RUU Kebudayaan bukan berarti negara harus mendisiplinkan arti kebudayaan itu sendiri. Hal ini berarti bahwa negara harus mengatur ‘strategi kebudayaan’ bukan arti dari budaya atau kebudayaan. Poin ini tentu saja berkaitan erat dengan demokrasi di Indonesia.
Sementara itu, Indra Trenggono berpendapat bahwa kemunculan RUU Kebudayan ini harus disyukuri meskipun masih ada kekurangan dari berbagai sisi. Hal ini lantaran saat ini lapangan kebudayaan mendapat gempuran dari dua musuh utamanya, yakni pasar dan purifikasi agama.
“Kebudayaan di Indonesia saat ini sudah babak belur. Ia tidak hanya dijegal oleh para penganut agama puritan tetapi juga oleh pasar. Harapannya dengan UU ini lapangan kebudayaan mendapat perlindungan dari musuh-musuhnya,” ungkapnya.
Kemudian, ia juga menyetujui poin dalam RUU Kebudayaan utamanya terkait dibentuknya Dewan Kebudayaan Nasional. Dari dewan ini setidaknya orang-orang yang berhadapan langsung dengan budaya dan kebudayaan punya akses untuk menyuarakan kepentingannya kepada pemerintah yang hari-hari ini abai terhadap kebudayaan itu sendiri. Indra juga menambahkan bahwa Dewan Kebudayaan Nasional ini nantinya harus diisi oleh orang-orang yang punya kompetensi dan integritas terutama dalam bidang kebudayaan. (D-OPRC)