Partisipasi Perempuan dalam Pembangunan dan Sektor Publik

Yogyakarta, 28 Mei 2022─Keluarga Mahasiswa Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (Kapstra) Universitas Gadjah Mada bersama BRI Work UGM menggelar acara Ngobrol Inspiratif #1 bertajuk “Pemberdayaan Perempuan dan Pembangunan” pada Sabtu (28/5). Acara yang berlangsung melalui Zoom Meeting ini mengundang dua pembicara yakni Linda Afriani, founder Yayasan Jogjakarta Berdaya dan Suzanna Eddyono, selaku dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) UGM.

Poin utama yang dibahas dalam acara ini adalah mengenai rendahnya partisipasi perempuan dalam pembangunan dan sektor publik. Perempuan masih dianggap sebagai kelompok kedua atau subordinat yang tidak memiliki kesamaan hak dengan laki-laki. Bahkan, perempuan hanya dinilai dalam hal urusan rumah tangga dan tidak ada keterlibatan perempuan dalam ranah publik.

Namun, seiring berjalannya waktu, perempuan dianggap sudah mulai bangkit dan berhasil membuktikan bahwa keberadaan mereka layak untuk diperhitungkan. Kecerdasan dan kepiawaian perempuan-perempuan Indonesia khususnya, tidak bisa lagi dianggap remeh karena turut berkontribusi pada pembangunan.

“Wanita-wanita masa kini sudah mulai aktif dalam sektor publik dan ekonomi. Contohnya, Ibu Khofifah Gubernur Jatim, Ibu Susi Pudjiastuti Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan yang sangat aktif membina masyarakat dalam bidang perikanan,” ungkap Linda.

Berdasarkan laporan Tenaga Kerja Ekonomi Kreatif, BPS dan Bekraf, perempuan menjadi pemain utama industri kreatif sejak 2011 yaitu sebanyak 53,86%. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan sudah mampu membuktikan keikutsertaannya dalam proses pembangunan. Bahkan saat pandemi, UMKM mampu bertahan dan justru meningkatkan pendapatan.

“Nah, di sini UMKM menyerap 97% dari total tenaga kerja, menghimpun 60,4% dari total investasi, yang artinya semua ini dikelola 60% oleh perempuan dan jumlahnya (UMKM) meningkat di masa pandemi,” tutur Linda.

Sementara itu, Suzanna mengatakan akses perempuan di sektor publik masih minim dikarenakan gender gap terus berlangsung. Pada sepuluh tahun terakhir, kita melihat adanya dekonsolidasi demokrasi, politik identitas yang seringkali juga tidak positif dalam merepresentasikan image perempuan, kemudian ada catatan-catatan terutama di eropa tentang anti-gender movement.

“Ada juga de-tradisionalisasi keluarga dan peran-peran perempuan, di mana perempuan diagung-agungkan hanya dalam keluarga, kemudian laki-laki diposisikan sebagai warga negara utama dan perempuan sebagai warga negara kelas dua, dan mengetatnya kontrol atas tubuh perempuan sehingga membatasi gerak perempuan di ruang publik,” ungkap Suzzana.

Lebih lanjut, meskipun sudah ada upaya-upaya advokasi untuk mendukung keadilan gender, seperti memberikan porsi 30% kepada perempuan dalam ranah politik dan adanya pengarusutamaan gender, namun pada praktiknya hal itu belum cukup berhasil. Kendati demikian, perkembangan bagus pada tahun 2022 adalah disetujuinya Undang-Undang Tindak Pidana Penghapusan Kekerasan Seksual (UU TPPKS), yang artinya memberi rasa aman untuk perempuan, termasuk ketika ia berada ruang publik. (/WP)