Dalam penelitiannya, tim menelusuri berita-berita dalam reportase Kompas sejak tahun 1999 hingga 2017. Kompas sendiri dipilih karena merupakan media dengan basis massa nasional dan tidak pernah dicekal peredarannya oleh pemerintah.
Melalui pemberitaan Kompas, tim peneliti menemukan terdapat 13.524 tindak nirkekerasan yang dilakukan oleh berbagai lapisan elemen di Indonesia. “Hal ini berarti tindak nirkekerasan telah menjadi bagian dalam penyuaraan keluhan dan kepentingan masyarakat Indonesia terkait konflik sosial pasca Reformasi,” ungkap Ayu. Lebih lanjut, nirkekerasan turut membantu memperluas ruang antara cara-cara institusional dan formal dalam pelaksanaan demokrasi.
Dari 13.524 kasus tersebut, tindakan nirkekerasan didominasi oleh metode protes dan persuasi (88,3%), diikuti oleh intervensi nirkekerasan (7,5%), dan metode non-kooperasi (4.2%). Ini menunjukkan bahwasanya repertoar masyarakat Indonesia atas aksi nirkekerasan masih terbatas dan memiliki kecenderungan lebih familiar pada tindak protes dan persuasi.
Motivasi masyarakat Indonesia dalam melakukan tindak nirkekerasan ditelusuri melalui kasus gerakan para petani Kendeng di Rembang, Jawa Tengah dan komunitas Sunda Wiwitan di Cigugur, Jawa Barat. Konflik agraria yang dialami petani Kendeng merupakan contoh konflik veritkal antara pemerintah dan masyarakat, sedangkan konflik dalam komunitas Sunda Wiwitan merupakan contoh konflik horizontal antara pemilik tanah di Cigugur. Pada keduanya, ditemui pengaruh motivasi ideologis yang bersumber dari sistem kepercayaan serta kalkulasi pragmatis sebagai dorongan utama melakukan tindak nirkekerasan. Motivasi ideologis ini merupakan kepercayaan bahwa perlindungan tanah kelahiran harus dilakukan dengan menempatkan harmoni dan kasih sayang sebagai ujung tombak. Lebih lanjut, melukai dan menyakiti pihak lain bukan termasuk dari nilai ideologis dan moral mereka.
Salah satu komponen lain dalam penelitian ini adalah keberadaan media dalam peliputan narasi nirkekerasan di Indonesia. Dikatakan media di Indonesia lebih menyoroti dan memberikan penekanan terhadap tindak unjuk rasa yang memiliki basis kekerasan dibanding pada upaya-upaya nirkekerasan yang ditempuh. Dalam konteks ini, media Indonesia dirasa tidak memberikan ruang untuk mengekspresikan ide dan gagasan nirkekerasan untuk dibawa dalam tataran nasional. Dalam salah satu contoh disebutkan, media lebih menyoroti unjuk rasa buruh yang berjalan damai dan tidak memberikan kesempatan pada para buruh untuk mengekspresikan idenya. “Agaknya, perdamaian dan tata tertib lebih penting dalam pemberitaan media dibandingkan isu itu sendiri,” tutup Ayu.
Presentasi penelitian ini merupakan bagian dari Fisipol Research Days 2018, pada kategori penelitian hibah kolaboratif internasional. Presentasi sendiri dilangsungkan di Ruang Seminar Timur Fisipol UGM pada Senin, (26/11). Bersamaan pada sesi ini, turut ditampilkan riset-riset bertajuk ‘Communication and Politics of Disaster in Indonesia: Analysis of the Multi-Layered Responses to Maritime Disasters in Semarang dan Aceh’ oleh Phil Hermin Indah Wahyuni dan tim, ‘Understanding the Nature of Work in the Disruptive Technology Era: Research on Workers of On-Demand Transportation Sector in Indonesia’ oleh M. Falikul Isbah dan tim, ‘Tradition and International Relations: Alternative Conflict Resolution through ‘Masyarakat Adat’ Initiative in the Border Dispute between Indonesia and Timor Leste’ oleh Muhadi Sugiono dan tim, serta ‘Gendering ASEAN Economic Community: A Comparative Analysis on Policy Initiatives for Empowering the Tenun Communities’ oleh Longgina Novadona Bayo dan tim. (/fkm).