Dimulai dari sesi Tri Mumpuni, Ia menekankan pentingnya manajemen hati untuk menemukan passion berwirausaha sosial. “Hati itu tidak dapat didapatkan di formal education. Namun harus dilatih, berwirausaha sosial apalagi di desa harus pintar-pintar menguatkan hati,” ungkap Tri Mumpuni. Ia juga menekankan pentingnya dukungan stakeholders dari berbagai level dan sektor terhadap wirausaha sosial yang dinisiasikan. “Dalam memulai wirausaha sosial dimulai dari level komunitas desa yang paling dasar itu perlu menghilangkan ‘kesombongan’, bergaul dengan desa, kenali living concept. Tarik dan analisis rantai para stakeholders yang dapat membantu, karena dukungan para stakeholder juga penting,” tambah Tri.
Sedangkan Gamal selain menjelaskan passion Ia juga melihat peran digitalisasi dalam wirausaha sosial. “Digitalisasi itu mempercepat impact. Melalui digital akan lebih banyak orang yang mampu di-engage untuk peduli dan mendukung wirausaha sosial yang dilakukan” tutur Gamal. Selain itu Maria Loretha, melihat pentingnya dilakukan inovasi dan kreasi. “Inovasi itu penting. Memang berbisnis harus mengambil risiko. Risiko akan selalu ada, untuk itu jangan terlalu fokus pada bayang-bayang masalah, karena disitu ada masalah,solusi pasti ada.” ungkap Meretha.
Studium Generale ini diikuti secara antusias oleh seluruh peserta, direfleksikan dengan banyaknya pertanyaan yang diberikan secara dalam dan bervariasi kepada ketiga pembicara. Dalam sesi pertanyaan Gamal juga menekankan empat kunci hal berwirausaha sosial atau sociopreneurship, yaitu adanya, the need, team, inovasi, dan dampak yang dihasilkan. (/fdr)