Yogyakarta, 27 September 2021─Masih dalam rangkaian Dies Natalis 66 FISIPOL UGM, Pidato Dies Natalis & Seminar Nasional dengan tema “Pekerjaan & Ketimpangan di Tengah Pandemi” dilaksanakan pada Senin (27/9) pagi. Pembacaan naskah pidato disampaikan oleh Prof. Wahyudi Kumorotomo, M.P.P., selaku dosen Departemen Manajemen & Kebijakan Publik FISIPOL UGM. Sementara pemateri pada seminar nasional yakni Prof. Dr. Susetiawan, S.U., Dr. Zulfan Tadjoeddin, Nining Elitos, dan Dr. Fachru Nofrian Bakarudin. Acara dihadiri oleh para dosen dan civitas akademika melalui Zoom Meeting dan disiarkan langsung di Youtube FISIPOL UGM.
Dalam pidatonya, Wahyudi menjelaskan tentang pekerjaan, kerentanan, dan ketimpangan ekonomi Indonesia terutama saat pandemi. Seperti yang kita ketahui, ekonomi Indonesia didominasi oleh usaha mikro dan usaha kecil di mana mayoritas masyarakat menggantungkan hidupnya, ada sekitar 30 juta pelaku UMKM yang terpaksa menutup usahanya karena pandemi Covid-19. Sementara itu, buruh formal pun juga berada di posisi yang semakin sulit. Selain dirumahkan atau terkena PHK massal, buruh juga mengalami berbagai macam pelanggaran hak-hak normatif ketenagakerjaan dan hak-hak kesehatan dan keselamatan kerja (K3). “Berdasarkan survei yang dilakukan terhadap buruh di kawasan Jabodetabek, laporan LBH di Jakarta tahun 2021 menunjukkan pelanggaran hak-hak normatif berupa pemotongan upah, PHK tanpa pesangon, pekerja yang dirumahkan tanpa dibayar, perubahan status kerja dari pekerja tetap menjadi pekerja kontrak outsourcing, dan juga pemberangusan serikat buruh,” ungkap Wahyudi.
Menanggapi pidato Dies Natalis dalam seminar nasional, Susetiawan mengatakan sebelum pandemi pun Indonesia sudah menghadapi persoalan ketenagakerjaan dan ketimpangan ekonomi sebagai persoalan yang serius. Pada tahun 1980-an, terjadi apa yang disebut dualisme ekonomi bahwa sektor ekonomi formal dan informal merupakan satu kondisi di mana keduanya berjalan bersamaan tetapi tidak berhubungan. “Perkembangan sektor ekonomi informal sebagai suatu penyelamat dari penyerapan tenaga kerja formal yang sesungguhnya diharapkan. Namun, baik ekonomi formal/informal sebenarnya mengalami persoalan problematik, apalagi yang berkaitan dengan hubungan industrial. Kalo kita bicara pekerjaan layak di Indonesia, saya rasa baik formal/informal jauh dari pekerjaan yang disebut layak,” ucapnya.
Sementara itu, Zulfan Tadjoeddin menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia -2,1% akibat pandemi termasuk yang paling mending. Peran ekonomi domestik yang dominan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan Indonesia resilience ketika dihantam oleh global financial crisis. Kenyataan bahwa Indonesia masih memiliki ruler ekonomi dan peran pertanian dapat menjadi buffer ketika negara terkena krisis. Zulfan menilai Indonesia sudah belajar dari pengalaman krisis ekonomi 1998 sehingga kebijakan dalam merespon dampak ekonomi akibat Covid-19 pun sudah lumayan appropriate dan reasonable. Menurutnya, penting untuk meningkatnya peran ekonomi domestik secara konsisten. “Di satu sisi harus meraih pangsa pasar internasional, tetapi ekonomi domestik harus didinamiskan dan dibuat merata dengan menjangkau daerah-daerah pinggiran serta interaksi ekonomi antar-daerah harus semakin kuat. Pembangunan Indonesia ke depan pun tidak boleh melupakan ruler ekonomi dan pertanian,” ungkapnya. (/Wfr)