Sebagai calon jurnalis profesional, 60 mahasiswa Ilmu Komunikasi dari 15 kampus di Indonesia mengikuti pelatihan jurnalisme inklusif yang berfokus pada isu perempuan, anak, dan difabel. Pelatihan daring ini diadakan oleh Departemen Ilmu Komunikasi dengan dukungan UNESCO Kantor Jakarta pada Oktober-November 2021.
“Perempuan, anak, dan difabel termasuk dalam kelompok yang sangat terdampak pandemi COVID-19. Namun, mereka belum mendapat liputan media yang memadai. Dalam pelatihan ini, mahasiswa belajar dari kondisi yang ada dan membuat liputan sendiri yang bersifat inklusif,” kata Novi Kurnia (26/11), koordinator program “Memajukan Pendidikan Jurnalisme Inklusif di Indonesia: Pelajaran dari Pandemi COVID-19”.
Sebelum pelatihan, program ini diawali dengan penulisan modul “Jurnalisme Inklusif: Liputan tentang Perempuan, Anak, dan Difabel selama Pandemi”, yang penyusunannya melibatkan serangkaian diskusi dengan akademisi, jurnalis, dan ahli dalam isu perempuan, anak, dan disabilitas.
Selain digunakan untuk pelatihan ini, modul tersebut juga ditujukan bagi para dosen jurnalisme dan komunikasi sehingga mereka bisa menyisipkan materi inklusi ini ke dalam kurikulum yang ada di kampus mereka.
“Kami sudah mengirimkan modul kepada 15 dosen dari 15 perguruan tinggi yang bermitra dalam pelatihan ini, mulai dari kampus di Banda Aceh, Denpasar, Banjarmasin, Manado, hingga Kupang. Bagi para dosen di kampus lain, kami persilakan untuk mengunduhnya di laman liputaninklusif.net,” kata Novi Kurnia, yang juga menjadi mentor dalam pelatihan.
Rahayu, dosen Departemen Ilmu Komunikasi UGM yang juga menjadi mentor pelatihan, mengatakan modul ini memuat aspek pengetahuan dan panduan praktis bagi para mahasiswa untuk membuat liputan multimedia yang inklusif.
“Modul ini juga menampilkan contoh-contoh liputan di Indonesia yang tidak disarankan dan disarankan berdasarkan acuan jurnalisme inklusif. Dengan demikian, para pendidik maupun mahasiswa bisa sangat terbantu, sehingga para calon jurnalis masa depan lebih siap untuk membuat liputan berkualitas,” kata Rahayu.
Anggota tim lain dari Departemen Ilmu Komunikasi yang terlibat dalam penulisan modul hingga pelatihan ini adalah Engelbertus Wendratama, Zainuddin Muda Z. Monggilo, dan Wisnu Prasetya Utomo.
Laman www.liputaninklusif.net dibuat secara khusus untuk menampilkan karya para mahasiswa selama pelatihan ini. Harapannya, laman ini bisa terus dipakai oleh siapa pun yang ingin menerbitkan liputan berkualitas yang memosisikan perempuan, anak, dan difabel di Indonesia sebagai “subjek”, bukan “objek” semata.
Dalam sesi pelatihan ketiga yang diadakan secara daring (06/11) salah satu peserta pelatihan Nimas Safira Widhiasti dari Universitas Airlangga, melalui liputannya Ukir Prestasi di Masa Pandemi, Begini Cerita Anak PERPANI Madiun, mengatakan, “Dalam liputan ini, saya ingin menjadikan anak sebagai subjek cerita serta membangkitkan semangat anak agar berprestasi.”
Dalam acara penutupan pelatihan dan seremoni kelulusan (12/11), Whafir Pramesty, salah satu pemenang liputan terbaik, turut menyampaikan apresiasi kepada UNESCO dan Departemen Ilmu Komunikasi UGM, tempat ia selama ini belajar jurnalisme.
Pada kesempatan itu juga, Lintang Ratri, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro yang empat mahasiswanya mengikuti pelatihan ini, mengatakan para mahasiswanya sangat senang dengan pelatihan yang diadakan.
“Mereka mengirim pesan WhatsApp ke saya dan mengatakan bahwa mereka belajar banyak dari pelatihan ini dan para mentornya sangat baik, sabar. Mereka juga minta diadakan pelatihan lagi, yang secara luring, supaya bisa lebih intensif,” kata Lintang.
Sebagai bentuk apresiasi lebih bagi empat mahasiswa yang liputannya terpilih sebagai liputan terbaik, pelatihan ini memberikan hadiah dana bantuan liputan bagi mereka, masing-masing senilai Rp 1 juta rupiah.