Menghadapi polemik mengenai Sabdaraja dan Dawuh Raja serta penolakan dari para Rayi Dalem, GKR Mangkubumi memilih untuk diam. Saat ditemui di Kepatihan , Rabu (13/5), ibu dua anak ini menolak berkomentar.
“Sampun, sampun, mboten, aku arep bali (saya mau pulang),” ujarnya sambil masuk ke dalam mobilnya.
Sebelumnya, saat ditemui di nDalem Wironegaran dalam acara penjelasan mengenai Sabdaraja dan Dawuh Raja oleh Sultan Hamengku Buwono X , Jumat (8/5) , ia berharap para adik Sultan HB X bersedia memberikan arahan dan berbagi pengalaman.
“Saya berharap, romo-romo mau mengajari saya dan adik-adik saya. Karena kami masih sangat muda. Saya tetap hormat pada beliau-beliau , walau bagaimanapun beliau kan Om saya,” katanya.
Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) , Bayu Dardias K, mengungkapkan alasan mendasar para adik-adik Sultan menolak Sabdaraja dan Dawuh Raja adalah bahwa dawuh raja telah menghilangkan kemampuan Kasultanan Yogyakarta untuk memilih pemimpinnya.
Tidak ada alternatif sistem yang diberikan Sultan. Putra tertua HB IX itu juga menolak berkomentar labih jauh terkait GKR Mangkubumi yang dinobatkan sebagai penerus tahta. Sultan hanya memberikan keterangan bahwa keputusannya itu adalah Wahyu dari Allah.
“Sehingga Kasultanan Yogyakarta akan dihadapkan pada krisis mencari pemimpin, karena jika garis laki-laki dihapuskan, alternatif sistem tidak ada,” katanya.
Adanya perbedaan pendapat antara rayi dalem ini menurut Bayu akan terus berlanjut. Karena adik-adik Sultan sedang berupaya tidak hanya mempertahankan masa lalunya, tapi juga mempertahankan masa depan kasultanan.
“Sementara Sultan sedang melaksanakan amanat leluhur yang juga memiliki konsekuensi tersendiri apabila tidak dilaksanakan. Ini perbedaan pendapat yang tidak mudah ditemukan titik temunya,” jelasnya.
Ia juga menjelaskan, Indonesia kaya dengan kebudayaan daerah. Tidak semua seperti di Yogyakarta yang berlangsung otomatis dari anak raja. Di Ternate dan Tidore , Sultan dipilih dari marga yang merupakan keturunan dari Sultan sebelumnya oleh Bobato 18 atau Dewan 18.
“Kasultanan Ternate jauh lebih tua dari Yogyakarta, Sultan Mudaffar Sjah yang mangkat dua bulan lalu adalah Sultan ke -48 , bandingkan dengan Yogyakarta yang baru kesepuluh,” katanya.
Pada pemilihan Sultan Tidore tahun lalu, lanjutnya, terdapat 12 kandidat dari empat marga. Keempat marga ini (Fola Yade, Akesahu, Rum dan Bagus) mengajukan calon Sultan. Selanjutnya dipilih oleh Bobato 18 dalam sembilan tahapan.
Calon-calon Sultan tersebut memiliki garis keturunan laki-laki. Yang terpilih adalah Husain Alting dari Marga Fola Yade. “Jadi walaupun beberapa memiliki variasi, garis keturunannya tetap laki-laki,” kata Dosen yang sedang menyelesaikan disertasi mengenai Politik Bangsawan di Indonesia, di Asutralian National University (ANU) ini. (dilansir dari Tribun Jogja, Jumat 15/5, halaman 1)