Fisipol UGM menjadi tuan rumah Seminar Nasional Asosiasi Ilmu Politik (AIPI) ke XXVII yang digelar selama satu setengah hari sejak Kamis (27/4) hingga Jumat (28/4) bertempat di Ruang Seminar Timur. Pada hari pertama, menghadirkan Sri Sultan Hamengkubuwono X (Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta) dan Keynote Speech, Tjahjo Kumolo, SH Menteri Dalam Negeri dan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H (Ketua DKPP RI).
Tujuan dari seminar nasional ini adalah mendiskusikan peluang, tantangan, dan evaluasi penyelenggaraan pemilu serentak tahun 2019, mendiskusikan alternatif solusi dalam menghadapi persoalan-persoalan yang muncul pada penyelenggaraan pemilu serentak tahun 2019 dan mendiskusikan dan merumuskan rekomendasi desain pemilu serentak 2019 dan perubahan UU politik yang ideal.
Berdasar pengalaman Pilkada Serentak 2017 ada beberapa permasalahan serta kendala seperti warga negara yang kehilangan hak suaranya karena belum terekam data kependudukannya, beberapa daerah masih belum pernah memperbarui data jumlah penduduk, masih terdapat KPUD yang kekurangan anggaran, serta perlu diwaspadai daerah yang rawan gangguan kelompok separatis.
“Perlu dicermati mengenai masalah keserentakan pemilu, diharapkan ada sinergi antara pemerintah dan pihak pendidikan tinggi untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten. Selain itu perlu diperhatikan mengenai anggaran sehingga biaya yang dikeluarkan efisien juga perlunya setiap kepala daerah membuat perencanaan anggaran yang jelas,” ujar Mendagri Tjahjo Kumolo.
Dalam kesempatan yang sama, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta juga turut hadir untuk membuka seminar nasional bahwa praktik demokrasi masih diwarnai oleh kuatnya nilai-nilai identitas, serta budaya politik dan kekuasaan memiliki hubungan yang erat dengan situasi sekarang karena seorang pemimpin pada dasarnya adalah pelayan atau abdi masyarakat. Kepemimpinan bukanlah konteks popularitas karena pada dasarnya pemimpin bukanlah penguasa tetapi seorang yang berani menderita dalam melayani masyarakat seperti abdi masyarakat.
Selanjutnya seminar dilanjutkan dengan pembicara utama, dan presentasi secara paralel makalah sumbangan. Tema-tema makalah sumbangan diharapkan dapat menjawab sejumlah tantangan Pemilu Serentak 2019 yang telah disinggung pada urgensi. Pada sesi utama dimoderatori oleh Dr. S.H.Sarundajang serta menghadirkan beberapa narasumber, yaitu:
1. Hasyim Asy’ari, SH., M.Si., Ph.D, (Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU RI)
Sub tema: “Kesiapan penyelenggara pemilu dalam pemilu serentak 2019”
2. Prof. Dr. Syamsuddin Haris (Dewan Pengawas Pengurus Pusat AIPI)
Sub tema: “Desain pemilu serentak 2019”
3. Dr. Nur Hidayat Sardini, S.Sos., M.Si, (Komisioner DKPP)
Sub tema: “Potensi Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu dalam Pemilu Serentak 2019”
4. Ir. H. M Lukman Edy, M.Si (Ketua Pansus RUU Pemilu)
Sub tema: “Isu-isu krusial dalam UU pemilu serentak 2019”
5. Drs. Bambang Eka C.W, M.Si (UMY)
Sub tema: “Sistem pengawasan dalam pemilu serentak 2019”
Setelah pemaparan dari pemakalah utama kemudian dilanjutkan dengan sesi paralel 1-3 makalah sumbangan, sesi paralel 4-6 makalah sumbangan dan ditutup dengan jamuan makan malam bersama Sri Sultan HB X di Bangsal Sri Manganti, Kraton.
Setengah hari pada hari kedua dilakukan perumusan rekomendasi desain pemilu serentak dan perubahan UU Politik yang akan diserahkan kepada Presiden dan Pimpinan DPR. Secara garis besar hasil pembahasan dan diskusi yang intens dari para peserta Seminar Nasional XXVII AIPI dapat dirumuskan beberapa hal-hal sebagai berikut:
1. Perlu konsistensi antara sistem presidensial dengan sistem kepartaian dan sistem pemilu. Seminar nasional ke 27 AIPI merekomendasikan agar sistem pemilu serentak dirancang secara terpisah antara sistem pemilu nasional serentak dan pemilu serentak lokal.
2. Apabila pemilu lima kotak tetap dijalankan pilihan resikonya kita tidak mendapatkan insentif dari gagasan-gagasan pemilu kecuali sekedar insentif persamaan waktu dan efisiensi pendanaan.
3. Terhadap isu presidential threshold dalam seminar nasional ke XXVII AIPI ditekankan bahwa dalam pemilu serentak ambang batas presiden sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden tidak lagi relevan dengan prinsip keserentakan penyelenggaraan pemilu.
4. Untuk mewujudkan tradisi politik dalam pemerintahan secara damai dan teratur diperlukan pengaturan model koalisi yang relatif longgar khususnya formula koalisi pada pemilu presiden putaran pertama.
5. Proses kandidasi calon presiden dan wakil presiden dilakukan melalui pemilu pendahuluan sebagai salah satu cara agar partai politik melibatkan banyak pihak khususnya publik dalam proses penentuan calon presiden dan wakil presiden.
6. Perlunya kejelasan rumusan hukum dalam bentuk UU dalam pengertian tidak multitafsir yang menjadi pegangan bagi penyelenggara pemilu serentak 2019.
7. Dalam menjaga representasi keterwakilan perempuan dalam pemilu serentak 2019 RUU pemilu serentak sebaiknya mengatur kewajiban dan keharusan bagi parati untuk menetapkan representasi keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% baik pada saat penyusunan calon anggota legislatif maupun dalam kepengurusan partai politik.
8. Dalam rangka memperbaiki kualitas hasil pemilu khususnya kualitas anggota calon perwakilan rakyat perlu adanya kewajiban bagi partai untuk melakukan proses kandidasi politik yang demokratis di internal partai secara terbuka yang melibatkan publik dan atau anggota partai politik.
9. Tata kelola pemilu sangat tergantung pada pilihan sistem pemilu dan pengabdian atau maksud pemilu serentak.
10. Dalam hal pengawasan sistem keadilan pemilu belum sempurna karena hanya didesain dalam dua sistem, tetapi belum ada alternatif sebagai landasan keadlilan pemilu.
(/dbr)