Acara yang diselenggarakan oleh Youth Studies Centre Fisipol UGM ini mengusung tema “Feel the Fear, Hope for Peace: Telaah Perspektif Gerakan Mahasiswa Atas Aksi Teror di Indonesia”. Bertempat di Lorong Gedung BC, acara ini juga menghadirkan organisasi ektra kampus UGM diantaranya adalah Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesi (GMNI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Front Mahasiswa Nasional (FMN), dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Belakangan ini Indonesia memang sedang berduka atas beberapa aksi teror baik di Mako Brimob maupun di Surabaya. Kejadiaan ini lantas menyedot perhatian dari berbagai kalangan, tidak terkecuali mahasiswa. Baik GMNI, PMII, GMNI, KAMMI maupun HMI secara kompak menolak dan mengecam aksi tersebut.
Menurut Defi sebagai perwakilan HMI, ekstrimisme dan aksi teror tersebut sangat menentang nilai kemanusiaan dan nilai-nilai Islam. Defi memandang bahwa para pelaku aksi teror telah melenceng dari pemahaman Islam yang sebenarnya. Hal ini juga diungkapkan oleh Wafi dari perwakilan PMII. Menurutnya, aksi terorisme tidak mewakili agama tertentu. Meskipun aksi teror sering kali menggunakan identitas Islam sebagai pelancar aksinya, namun menurut Wafi, baik Islam maupun agama lain tidak pernah mengajarkan kekerasan maupun pembunuhan pada sesama manusia.
Tidak jauh berbeda, Aji perwakilan dari GMNI mengungkapkan bahwa paham radikal yang berujung pada aksi teror merupakan hal yang keliru. Namun baginya, tidak tepat jika menghakimi dan menggeneralisasi secara sepihak bahwa paham radikal adalah salah. “Sering kali radikal disalah artikan. Radikal bagi GMNI menjadi keharusan karena radikal sendiri berasal dari kata mengakar,” ungkapnya. Oleh karena itu, Aji menekankan bahwa radikal dibutuhkan dalam memahami sebuah ideologi. Namun, tentu disertai dengan pola pikir terbuka dan jauh dari tindakan kekerasan.
Panji FMN menambahkan bahwa pendidikan menjadi solusi dalam menanggulangi paham terorisme maupun segala ideologi yang berujung pada tindakan merugikan. “Memang sangat normatif, tapi perlu diperhatikan 3 aspek formal, non-formal, dan informal,” jelasnya. Informal yaitu pendidikan berbasis masyarakat sangat penting diperhatikan, pemerintah dapat berperan dengan membuka selebar-lebarnya kesempatan terhadap institusi lokal akar rumput untuk berkembang. Sedangkan, untuk pendidikan formal perlu didisiplinkan dalam bentuk ilmiah tidak bersifat asumtif, menghidupkan demokrasi, serta menihilkan kesenjangan dan kecemburuan.
Selain dari sisi pendidikan, Panji mengungkapkan bahwa perlu juga untuk membuka literasi kritis dan ruang-ruang dialog dari berbagai golongan dan lapisan masyarakat yang bisa menumbuhkan pemikiran kritis. Pola pikir terbuka dan kritis adalah senjata bagi generasi muda dalam melawan paham maupun ideologi terorisme.
Hal ini mengingat bahwa dalam fenomena terorisme sekarang terdapat dimensi-dimensi baru. Zaki mengungkapkan, adanya keterlibatan perempuan dan anak-anak dalam aksi terorisme. Bahkan fenomena ini menjadi tragedi pertama satu keluarga terlibat dalam satu kejadian terorisme. “Tragedi Surabaya meruntuhkan dimensi yang lama yaitu relasi kelas atau manusia yang dalam kondisi ekonomi yang tidak adil akan berujung pada aksi terorisme. Dari kalangan kelas atas dan menengah juga bisa berpotensi sebagai pelaku terorisme,” papar Zaki. Oleh karena itu, Zaki menekankan bahwa dalam memandang terorisme perlu pendekatan baru, tidak hanya pendekatan security. Dimana pendekatan baru tersebut salah satunya di tangan para pemuda melalui berbagai gagasan kritisnya. (/ran)