Oleh Derajad Widhyharto
Sosiolog UGM
Membuat cafe bukanlah hal murah dan mudah, mengelola cafe juga tidak sekedar berbekal setumpuk uang tapi juga jaringan. Di Yogyakarta pertumbuhan bisnis cafe tersebut mengalami peningkatan yang signifikan seiring dengan predikat kota besar, kota pendidikan dan kota tujuan wisata. Hampir sebagian besar ruas jalan di pusat kota, maupun pinggir kota pasti menyisakan ruang untuk bisnis cafe ini. Perkembangan ini berkorelasi dengan jumlah pendatang yang masuk ke Yogya, mereka bukan berasal dari desa melainkan dari kota besar yang datang untuk berwisata, sekolah dan bekerja. Mereka butuh bersantai dan melepas penat setelah berwisata, sekolah/kuliah maupun bekerja. Merespn hal di atas cafe tumbuh sebagai ruang “baru” dan kamu mudalah yang menjadi konsumen terbesarnya.
Selain pertumbuhan yang pesat, peningkatan jumlah cafe tersebut juga menyisakan persoalan “bak jamur tumbuh di musim hujan” pertumbuhan cafe yang cepat tak mudah di awasi oleh pihak yang berwenang. Seiring dengan pertumbuhan cafe tersebut, cafe dinilai menyimpan persoalan yang diduga muncul bersamaan dengan peningkatan jumlah cafe, beberapa diantaranya adalah penjualan minuman beralkohol, menjadi tempat transaksi narkoba dan prostitusi terselubung sering disematkan di cafe.
Di sisi lain, cafe telah menjadi penanda sekaligus pertanda perubahan sossial, munculnya generasi cafe yakni generasi muda, gaul yang mengklaim dirinya mengikuti zaman telah membuka mata kita bahwa mereka telah menjadi bagian dari gaya hidup global. Pergi ke cafe seolah-olah telah menyamakan konsumsi dan gaya hidup modern ala Barat. Selain itu, generasi cafe juga mengkalim dirinya sebagai generasi kreatif, sebab pada saat menghabiskan sebagaian besar waktunya di cafe digunakan untuk saling bertukar cerita, ide-gagasan, dan inforasi kreatif yang dapat menstimulasi kegiatan dan bisnis kreatif lainnya. (dilansir dari sumber Tribun Jogja 23/11/14. halaman 6)