Ditulis oleh Arie Sujito
Sosiolog UGM
Makin maraknya industri pendidikan dengan berbagai tingkatan, sebagaimana dialami Yogyakarta, telah berdampak pada terjadinya ledakan jumlah sarjana di berbagai bidang. Pada sisi lain , daya tampung lapangan kerja tidak sebanding. Bahkan tidak dipersiapkan arah penyaluran kerja , orientasi dalam berkarya mereka. Wajar jika ada berbagai kasus para lulusan baru itu akhirnya tidak mengembangkan kompetensi keilmuan dari latar belakang dimana dipelajari pada saat kuliah. Seadanya yang penting kerja.
Fenomena ini juga dialami di daerah lain bahkan di negara lain. Tidak musti linier antara latar pendidikan dengan tempat kerja, karena kompetensi berbasis studi itu juga mengaikan lembaga pendidikan menciptakan sarjana yang seolah siap kerja di masyarakat.
Faktanya tidak. Karena ada gejala sekedar pendidikan menjadi industri semata. Fakta semacam ini perlu menjadi bahan refleksi bagi pengelola lembaga pendidikan, bagaimana mereka mampu memetakan problem sosial ekonomi masyarakat, orientasi perubahan serta kebutuhan sarjana seperti apa yang perlu disediakan. Bahkan, yang lebih penting dari itu adalah bagaimana agar lembaga pendidikan menjadi sentra perubahan, pendidikan tidak sekadar menyediakan sarjana atau sekedar meyesuaikan kebutuhan lapangan kerja, sebaliknya justru pendidikan menjadi arena dan rekayasa orientasi perubahan diarahkan.
Kita tentu tidak memungkiri jika di Yogyakarta fenomena komersialisasi pendidikan kian marak tanpa kendali yang ketat. Bahkan hal ini juga tidak dibarengi kualitas dan orientasi yang akan dituju. Sekolah cenderung mencetak sarjana dengan ditandai terbitnya ijazah. Tetapi apa makna surat kelulusan itu? Itu hanya penanda administratif. Semua tergantung daya kreasi dan kehebatan dari sarjana itu sendiri.
Ada lapangan kerja dengan kompetisi begitu berat dengan persaingan tingkat tinggi, namun tidak sedikit ada lapangan kerja dengan pola rekruitmen “tidak fair” , dengan disertai ragam KKN. Mereka yang kreatif, cerdas menangkap peluang ketja tentu punya terobosan sendiri, dengan tidak menggantungkan lapangan kerja yang tesredia.
Di Yogyakarta, banyak juga para anak muda kreatif, sekalipun mereka masih kuliah menjajagi usaha dan berkarya dengan berbagai bentuk. Tidak melulu pragmatis sekedar mencari uang, namun juga diikuti spirit berkarya dengan memanfaatkan kecerdasan yang dimilikinya. Model kreasi ini tentu berdampak secara sosial ekonomi, selain sebagai tempat belajar dan berkarya dengan nilai-nilai idealis, juga menghasilkan uang, bahkan bisa merekrut tenaga kerja mengatasi pengangguran. (dilansir dari sumber Tribun Jogja, Minggu 8/3/2015, halaman 10)