Yogyakarta, 3 November 2020—Diskusi tematik dalam rangkaian topik mengenai Omnibuslaw kembali diselenggarakan oleh MAP Corner Klub MKP UGM. Pada kesempatan kali ini, secara khusus tema yang diangkat adalah menyoal “Peran Intelektual dalam Pusaran UU Cipta Kerja”. Diskusi ini diselenggarakan secara daring dengan menghadirkan dua pembicara yaitu perwakilan dari Aliansi Rakyat Bergerak dan Herlambang P. Wirataman, dari Kaukus Kebebasan Akademik dan sekaligus Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
Sebagai pengantar, moderator menyampaikan intermezzo sebagai pemandu arah diskusi. Dalam penuturannya ia menyampaikan bahwa UU Ciptaker yang telah disahkan DPR dan Presiden RI memiliki berbagai masalah, baik dari segi proses maupun substansi. Karena hal tersebut, terjadi demonstrasi di berbagai daerah yang dilakukan oleh masyarakat sebagai bentuk penolakan UU tersebut. Ironisnya, di tengah penolakan, terdapat 12 rektor yang menjadi satgas penyusun UU ini. Sedangkan dalam posisi lain, mahasiswa dan akademisi yang melakukan aksi penolakan mengalami represi oleh negara. Lantas, seperti apa sikap civitas akademika saat ini, dan bagaimana sikap kampus terhadap kehadiran UU Ciptaker?
Menyampaikan materi sebagai pematik pertama, perwakilan Aliansi Rakyat Bergerak berpendapat bahwa omnibuslaw hanyalah bagian kecil dari permasalahan struktural yang ada di Indonesia. “Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) bukanlah suatu gerakan intelektual (intelektual kampus), ini adalah gerakan bersama. Saat ini ARB mengalami tindakan represi seperti tidak bisa melakukan konsolidasi di berbagai kampus. Meski demikian, ARB berusaha membangun solidaritas bersama, kekuatan sipil perlu menunjukkan keinginannya ke negara. Satu hal penting yang perlu dipikir bersama adalah soal bagaimana membangun perjuangan yang lebih serius lagi. Selain itu, ARB juga menawarkan konsepsi Dewan Rakyat, adanya partisipasi aktif dari setiap individu, dan membangun solidaritas horizontal” tuturnya.
Menyambung pembicara sebelumnya, Pematik kedua mengungkapkan bahwa seringkali negara mengambil hak rakyat atas nama proyek strategis nasional. Selain itu, ia juga mengungkapkan bahwa terjadinya fenomena profesionalisme memiliki beberapa dampak seperti menumpulkan gagasan kritis, seolah-olah sesuatu di luar tembok bukan lagi urusan kampus. Dalam konteks ini ia juga mengungkapkan bahwa kampus memiliki sejarah paralel dengan dunia kekuasaan. Karenanya, dampak yang terjadi adalah kampus seringkali menjadi perpanjangan tangan dari kekuasaan. Selain itu, intelektual yang seharusnya menjadi aktor yang mendukung kebebasan demi penemuan suatu kebenaran, semakin berkurang dan lebih tunduk pada kekuasaan. (/Mdn)