Dalam rangka memperingati hari perdamaian dunia, Institute of International Studies (IIS) bersama dengan Politic Government (PolGov) dan Institut Ungu menginisiasi pemutaran dokumentasi dan diskusi teater The Silent Song (Nyanyi Sunyi) pada 26 September lalu. Bertempat di Gedung BH Ruang 301, diskusi ini menghadirkan Faiza Mardzoeki sebagai penulis naskah The Silent Song. Selain itu, diskusi ini juga dihadiri oleh Sudar sebagai salah satu keluarga korban sejarah ‘65.
Pertunjukan teater The Silent Song ini memang menceritakan tentang perjalanan lima perempuan dalam menapaki masa lalunya. Lima perempuan yang pernah menjadi tahanan politik di tahun 1965. Di usia yang tidak lagi muda, mereka masih terus dibayangi oleh peristiwa tersebut. Sebuah kebanggaan yang berganti dengan sebuah luka dan kesakitan sepanjang masa. Nini, nenek yang semasa muda aktif dalam organisasi perempuan di Solo. Keikutsertaannya membawa pada bencana besar, suami hilang entah kemana, kehilangan anak perempuannya, hidup dipenjara, dan berakhir dengan pemerkosaan oleh salah satu komandan penjara.
Begitu juga dengan Sumilah, perempuan tua yang dulunya ikut dalam kesenian tari, harus menanggung duka dan malu dua hari dibiarkan tanpa busana. Nasip serupa juga dialami tiga perempuan lainnya, Tukmin, Makmin, dan Hana. Kebanggaan bercampur duka lara itu adalah sebuah pengalaman yang harus dipahami oleh cucu dari nenek Nini. Sebagai perempuan muda, ia merupakan jembatan antara kisah masa lalu dan masa depan bangsanya. Sebuah kisah yang harus dipahami untuk melihat sisi lain sejarah bangsa ini.
Penulisan naskah teater ini sendiri berdasarkan kepingan-kepingan kisah nyata yang dijadikan sebuah cerita. Faizah mengakui bahwa apa yang ia tulis berdasarkan hasil wawancara dari tiga puluh survival (keluarga korban). Hal ini juga diakui oleh Sudar, “ya itu berdasarkan kisah nyata, salah satunya kisah bando itu adalah kisah saya. Ibu saya dipenjara dan bapak saya sampai sekarang hilang tidak tahu kemana. Ibu saya membuatkan bando itu sebagai tanda untuk mengobati rindu pada anak-anaknya”.
Mengangkat kisah kelam ‘65 menjadi sebuah pertunjukkan memang tidak mudah. “Ketika saya dan kawan-kawan bikin pementasan ini selalu ada feeling not nice, tidak berani mencetuskan judulnya yang menarik, yang manarik sebenarnya adalah nyanyi sunyi kembang-kembang genjer. Ini mengangkat persoalan ‘65, seperti kita tahu setiap mengangkat persoalan ‘65 pasti diganggu. Waktu itu panitia menekankan itu, lebih baik acaranya aman tanpa diganggu. Yaudah yang penting bisa ditonton kita bisa diskusi. Akhinya dengan tidak suka dengan judul the silent song yang kurang memberikan informasi. Ini bukti bahwa rasa takut itu masih ada,” uangkap Faizah.
Terlebih lagi pertunjukan teater tersebut fokus pada isu kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan korban ‘65. Faizah pun mengungkapkan bahwa isu perempuan dalam sejarah ‘65 tidak banyak diangkat dalam berbagai kesempatan. Padahal banyak korban yang mendapat pelecehan seksual dimana tubuh perempuan selalu andil dalam situasi politik di negeri ini. Faizah menambahkan bahwa banyak peristiwa besar yang tidak dinarasikan, apalagi persoalan kekerasan seksual dimana hal itu masih dianggap sangat tabu oleh masyarakat.
Setelah melewati berbagai perdebatan yang cukup lama antar-keluarga korban, pada akhirnya memutuskan untuk mengangkat peristiwa tersebut. “Kami berdialog dengan perspektif yang berbeda, antara keluarga yang tidak suka, bisa dibilang yang sangat berjarak dengan peristiwa ‘65, meskipun tahun itu ada secara politik berbeda. Lalu ada Bu Rina yang justru dari keluarga korban yang sangat dekat dengan peristiwa itu. Sampai jam 4 pagi. Setelah terjadi diskusi itu, ok saya akhirnya mau. Saya merasa ada rekonsiliasi kecil dengan korban,” ungkapnya.