Yogyakarta, 18 Mei 2020—Departemen Hubungan Internasional UGM bekerja sama dengan National University of Singapore mengadakan diskusi bertajuk “Southeast Asia’s COVID-19 Battle: Current Responses and Future Outcomes” bersama Mustafa Izzudin selaku dosen senior di National University of Singapore. Dipandu oleh Treviliana Eka Putri selaku dosen Departemen Hubungan Internasional, diskusi yang membahas respon ASEAN terhadap Covid-19 dan dampaknya di masa depan dijelaskan melalui pendekatan hubungan internasional.
“Covid-19 telah mengubah pemahaman kita tentang geopolitik,” ujar Mustafa membuka diskusi. Analisis yang dikemukakan Mustafa pun dilakukan melalui beberapa pendekatan. Pertama, melalui geopolitik tradisional yang melihat interaksi antar negara. Kedua, melalui geopolitik neoklasik yang membuka kotak hitam domestik. Ketiga, melalui regionalisme yang melihat bagaimana pentingnya kerjasama dan koordinasi regional dalam memerangi pandemi. Keempat, melalui good international citizenship dimana kepentingan global menjadi lebih penting daripada kepentingan nasional dan terakhir melalui global governance.
“Kita bisa melihat bahwa negara-negara saling membantu satu sama lain, misalnya ada India yang membantu suplai medis ke 15 negara termasuk Myanmar dan Filipina, juga Cina yang melakukan ‘mask diplomacy’ dengan memberi alat medis untuk membantu negara lain melawan pandemi,” ujar Mustofa.
“Di ASEAN kita punya negara-negara dengan standar ekonomi, kapasitas birokratis, sistem layanan kesehatan hingga masyarakat yang berbeda. Di Singapura, kita punya kasus yang lebih tinggi dibanding Indonesia, hal ini dikarenakan wilyahnya yang lebih padat penduduk sehingga kemampuan virus menyebar akan jauh lebih tinggi dan cepat. Namun, adanya pengujian massal secara agresif disertai pengawasan physical distancing yang sangat ketat menunjukan hasil yang baik,” ujar Mustofa.
“Indonesia memiliki kompleksitas tersendiri. Banyaknya lapisan tingkat pemerintahan di Indonesia seperti desentralisasi, memerlukan hubungan yang didasarkan pada kepercayaan agar penyampaian nilai kepemimpinan bisa tersalurkan pada masyarakat, sehingga negara bisa bangkit dan bertanggungjawab bersama-sama,” ujar Mustofa.
“Dibandingkan negara lain, Malaysia yang sedang mengalami masa krisis politik memulai sedikit lebih telat dibanding negara lainnnya dalah mengatasi Covid-19. Brunei Darussalam sebagai negara dengan populasi paling sedikit, mempunyai tingkat kematian terendah dimana hanya ada 141 kasus dan 1 kematian,”ujar Mustofa.
Mustofa menyampaikan pentingnya peran agama dalam menghadapi Covid-19 yang bertepatan dengan bulan Ramadan. “Di Singapura, himbauan untuk tidak berkumpul di rumah ibadah melalui tokoh agama sangatlah powerful . Pesan yang disampaikan bahwa cara kita beribadah yang menyusuaikan krisis saat ini, menegaskan bahwa setiap orang bisa tetap menjadi musllim sekaligus warganegara yang baik. Selain itu juga ada interfaith massage yang tak kalah powerful melalui berbagai pimpinan agama untuk menyampaikan pesan secara luas agar tetap di rumah,” ujar Mustofa.
Di bidang ekonomi sendiri, Cina sebagai mitra dagang terbesar di ASEAN menyadari bahwa ASEAN memiliki ketergantungan pada Cina dan sebaliknya. Hal tersbut membuat Cina mulai mengubah persepsi melalui ‘mask diplomacy’ yang secara perlahan mengubah persepsi terhadap Cina yang juga telah bekerjasama dengann PBB untuk memulai investigasi terhadap virus Corona yang dianggap disebabkan oleh Cina.
Di masa depan, pembiasaan hidup dengan virus melalui kebiasaan menjaga kebersihan, physical distancing dan pemakaian teknologi akan menjadi tantangan, salah satunya di kegiatan perkuliahan. ”Tantangan untuk pendidikan tinggi adalah bagaimana kita membuat virtual activity melalui teknologi dapat terasa seperti pembelajaran langsung, ini adalah tantangan agar kita tetap menyeimbangkan proses pembelajaran yang baik” tutup Mustofa mengakhiri diskusi (/Afn)