Prinsip non-intervensi dan kentalnya pola pikir persaingan di ASEAN menyebabkan absennya keselarasan dan kekompakan sepuluh negara di berbagai sektor. Hal ini disampaikan oleh para peneliti ASEAN Studies Center (ASC) dalam diseminasi hasil riset bertajuk “Rethinking the Future of ASEAN Community”, Selasa (28/11).
“Kita bisa melihat bahwa prevalensi penyakit di ASEAN tidak merata. Misalnya, di negara-negara seperti Filipina dan Vietnam, jumlah penyakit dan penderita lebih banyak. Negara-negara lain seperti Singapura dan Malaysia penanggulangannya yang lebih baik,” ungkap Ahmad Rizky M. Umar. Bersama timnya, ia membuat riset mengenai hak universal kesehatan dalam kaitannya dengan integrasi di ASEAN. Terungkap bahwa integrasi ASEAN untuk bidang kesehatan tidak terlihat, terutama di tingkat lokal. “ASEAN pertama kali mengangkat isu kesehatan sebagai isu regional pada tahun 2000-an, saat tren penderita AIDS meningkat. Baru pada tahun 2009, ASEAN menciptakan blue-print mengenai gaya hidup sehat dan kesejahteraan,” kata Umar. Koordinasi lebih banyak dilakukan dengan pemerintah pusat, misalnya dengan membentuk Health Ministerial Meeting sembari mengkategorikan masalah kesehatan menjadi isu keamanan.
Riset Umar dan kawan-kawan juga menemukan bahwa tiap negara memiliki kebijakan yang berbeda-beda. Indonesia mengidentifikasi 98 permasalahan kesehatan dan mendesentralisasi kebijakannya sehingga kabupaten seperti Solo dan Wonosobo memiliki peraturan daerah masing-masing. Demikian juga Malaysia yang melakukan desentralisasi. Hal ini dapat dilihat di Penang yang memberlakukan wisata medis serta Selangor yang mengutamakan universal health coverage. Sebaliknya, Singapura menetapkan kebijakan yang sifatnya tersentralisasi.
Masih di bidang kesehatan, Irfan Ardhani mempresentasikan hasil sementara riset timnya di Surakarta tentang governance pemenuhan hak pendidikan terhadap anak-anak penderita AIDS. “Di sekolah, adik-adik kita ini didiskriminasi, sampai harus melibatkan komunitas orang tua di sekolah. Beberapa kasus lain menunjukkan mereka diusir dari tempat tinggal mereka. Ini menunjukkan lemahnya pengertian oleh Dinas Pendidikan serta stigma sosial yang melekat pada anak-anak dengan HIV/AIDS,” kata Irfan. Di sisi lain, Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan Surakarta sudah memiliki pengertian dan koordinasi yang lebih baik sebagai duty-bearers. Irfan mengatakan, beberapa anak dengan HIV/AIDS yang tidak berasal dari Surakarta telah dijamin hak kesehatannya oleh kedua dinas, sesuatu yang menurut Irfan “aneh”, tetapi bagus, karena pemerintah lokal biasanya hanya fokus ke penduduk asli saja.
Untuk memenuhi hak para right-holders, jaringan governance di Surakarta juga melibatkan masyarakat sipil seperti Lentera Anak Surakarta yang juga mendapatkan paparan media dalam skala besar. Pemerintah di tingkat kelurahan juga memainkan peran penting dalam meningkatkan kesadaran masyarakat yang masih terpengaruh stigma negatif. Irfan mengatakan bahwa stigma tidak akan dapat dihilangkan, tetapi perlu diusahakan. “Hak anak harus terus diperjuangkan. Harapannya, Anak dengan HIV/AIDS mendapat akses pendidikan supaya bisa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan anak-anak lainnya,” pungkas Irfan.
Peningkatan governance juga diperlukan dalam bidang-bidang lain seperti digitalisasi masyarakat kawasan dan pariwisata halal. Umar yang kembali memberikan presentasi di sesi kedua mengungkapkan bahwa digital divide di ASEAN sangat besar. “Singapura dan Brunei akses internetnya sangat tinggi, sedangkan negara-negara lain jauh lebih rendah.” Menurut penemuan Umar dan tim, keadaan ini merupakan konsekuensi dari pembangunan yang timpang dalam industri digital yang lebih didorong oleh pasar. Sifatnya transnasional dan melibatkan para pemain dari sektor privat dan kurang memikirkan digital inclusion. “Dari dulu ASEAN itu non-intervensi sehingga kerjasama-kerjasama ICT tidak bisa mengatasi masalah pembangunan regional.
Penemuan risetnya juga menunjukkan kemunculan digital divide disebabkan oleh perbedaan kebijakan teknologi informasi di tiap negara, inkoherensi antara kebijakan di tingkat regional dan nasional, serta kegagalan ASEAN untuk menghubungkan institusi-institusi di tiap negara melalui kebijakan. “Oleh karena itu, ASEAN harus mengorganisasikan sekretariat dengan tingkat nasional,” kata Umar.
Mengenai pariwisata halal, Siti Daulah Khoiriati, Dosen Ilmu Hubungan Internasional Fisipol UGM, menyampaikan bahwa ASEAN belum memberikan perhatian pada sektor ini, dan negara-negara anggota lebih banyak bersaing daripada bekerja sama. “Indonesia sendiri bersaing dengan Malaysia yang sekarang sedang menempati posisi pertama di antara negara-negara OKI,” katanya. Peningkatan popularitas pariwisata halal didorong juga oleh permintaan khusus dari pasar untuk pelayanan yang memudahkan wisatawan berlibur sambil tetap melaksanakan ibadah sesuai syariat Islam. Namun, saat ini pengelolaannya lebih menunjukkan sifat community-based dan didorong oleh negara.
Meskipun demikian, terdapat peluang dalam bentuk kerja sama, yaitu dalam bentuk sertifikasi halal. “Memang kerja samanya masih di level institusi, tetapi sudah ada inisiatif antarnegara, misalnya Thailand dengan Malaysia. Oleh karena itu, Siti Daulah mengatakan bahwa perlu diusahakan tumbuhnya kerjasama di tingkat regional ASEAN. (/KOP)