Permasalahan lingkungan di tingkat lokal merupakan dampak dari interaksi-interaksi politik yang terjadi di tingkat yang lebih tinggi, terutama pada tingkat internasional. Oleh karena itu, Ekologi Politik mendapatkan nilai penting sebagai cabang ilmu pengetahuan karena dapat menghubungkan kompleksitas multiskala tersebut. Hal ini disampaikan oleh Dr. Abidah B. Setyowati, peneliti pasca-doktoral dari Australian National University (ANU) dalam seri diskusi Climatalk bertajuk “Global Environmental Politics” yang diselenggarakan oleh Institute of International Studies (IIS), Kamis (22/2).
Tiga institusi menjadi penting di sini, yaitu negara, pasar, dan masyarakat. “Ekologi Politik mempelajari siapa mendapatkan apa dari manajemen lingkungan. Ini tentang relasi kekuasaan,” kata Abidah.
Terdapat kontestasi di dalam Ekologi Politik, sehingga tercipta beberapa pendekatan di dalamnya. Dua di antaranya adalah resistensi dan gerakan sosial, serta neoliberal environment. Resistensi dan gerakan sosial lebih mengamati peran masyarakat grassroots yang seringkali hanya dipandang sebagai korban dari berbagai kebijakan lingkungan. Sedangkan, pendekatan neoliberal lebih menekankan peran negara dan pasar dalam mengelola lingkungan.
Hal yang sama juga dinyatakan oleh Profesor Emeritus Lorraine Elliott. Ekologi Politik mendebatkan pengetahuan mana yang dapat dianggap ilmiah. Hal ini membuat Ekologi Politik menjadi terfragmentasi, multilevel, dan kompleks.
Abidah mengamati Indonesia dalam riset yang dilakukan bersama dengan ANU. Ia mengatakan, “Tahun 2013, Indonesia mengemisi 2016 juta MtCO2e/tahun gas rumah kaca, terbesar di dunia. Pada tahun 2015, angka tersebut berlipat ganda akibat bencana kebakaran hutan, yang terbesar di Provinsi Riau.” Kebakaran hutan tersebut pun seringkali disebabkan oleh aktivitas berbagai perusahaan multinasional yang memproduksi minyak kelapa sawit.
Akibathal tersebut, terjadi kekeringan, sulitnya memprediksi musim, dan punahnya spesies-spesies penting. Pihak yang paling merasakan dampak buruk dari bencana tersebut tidak lain adalah masyarakat di tingkat akar rumput, terutama terkait dengan memburuknya kesehatan.
Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut, pemerintah telah menggabungkan diri dalam berbagai inisiatif internasional. Tahun 2015, Indonesia menunjukkan komitmen nasionalnya untuk mengurangi gas rumah kaca dengan penggunaan anggaran nasional sebesar 29% dan bantuan dari luar negeri sebesar 41%. Selain itu, melalui REDD+, Pemerintah Indonesia juga melibatkan diri dalam berbagai kerangka kerja lainnya yang lebih menunjukkan hybrid governance.
Meski demikian, Abidah menyatakan bahwa pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut tidak mudah. “Kompleksitas terjadi di berbagai tingkat pemerintahan. Pemerintah pusat dan daerah memiliki regulasi-regulasi yang berbeda. Sedangkan, ada persaingan antarsektor, terutama kementerian-kementerian,” kata Abidah.
Ia mengatakan bahwa implementasi Payments of Ecological Services (PES) yang dilakukan di Indonesia tidak berjalan dengan lancar karena hambatan birokratis. “Contohnya, pemerintah Jakarta pernah mengirimkan uang sebagai bentuk PES kepada pemerintah Bogor. Namun, pembayaran tersebut dianggap pelanggaran oleh auditor dari BPK (Badan Pemeriksa Keuangan),” lanjut Abidah.
Di tingkat ASEAN, pengajar dari Departemen Ilmu Hubungan Internasional (DIHI), Muhammad Rum, mengatakan bahwa ASEAN Way masih menjadi penghambat utama bagi terciptanya pengelolaan lingkungan yang terintegrasi secara regional.
“ASEAN sebenarnya sudah progresif. Mereka membentuk ASEAN Working Group on Environment pada tahun 1987. Kyoto Protocol baru muncul 1992. Tetapi, kalau kita melihat ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) sekarang, dapat dilihat belum ada negara yang mau membuka perbatasannya untuk mempersilakan negara tetangga memberikan bantuan,” kata Rum.
Prinsip non-interferensi membuat kedaulatan menjadi isu yang sangat sensitif bagi negara-negara ASEAN. Untuk mengatasi shaming yang dilakukan oleh negara-negara ASEAN lainnya terutama terkait bencana asap, Rum mengatakan, seringkali Indonesia membentuk dialog sub-regional dengan negara-negara terkait. Oleh karena itu, perlindungan lingkungan di ASEAN masih menunjukkan pola terpimpin oleh negara. (/KOP)