Ditulis oleh Derajad Sulistyo Widhyarto
Sosiolog UGM
Ada tiga penyebab mengapa harga tanah di Yogyakarta bisa sangat tinggi Penyebab pertama adalah dari faktor masyarakat itu sendiri. Saat ini penopang perekonomian di Indonesia telah didominasi dengan kegiatan konsumsi.
Isu-isu yang berkembang di masyarakat bukan lagi untuk memproduksi sesuatu. Melainkan cenderung ke daya beli, artinya masyrakat pun lebih konsumtif. Hal ini juga termasuk pembelian rumah dan tanah.
Kedua hal ini memang tidak bisa lagi dipisahkan. Masyarakat membeli tanah dan rumah tak lagi semata-mata untuk ditinggali, melainkan untuk inverstasi. Gaya hidup baru inilah yang ditangkap oleh pasar, sehingga mengakibatkan harga tanha menjadi selangit.
Penyebab kedua, Yogyakarta telah lama mengklaim dirinya Berhati Nyaman. Tagline inilah yang akhirnya menjadi logika populer masyarakat di luar Yogyakarta dan akhirnya tertarik untuk berinvestasi disini. Tagline inilah yang membuat Yogyakarta seakan-akan menjadi temat yang nyaman dan lingkungan yang belum begitu padat.
Dan yang ketiga adalah peluang investasi di Yogyakarta menyebabkan muncul banyak calo tanah. Calo-calo tanah ini muncul sebagai sindikat. Mereka melihat masyarakat di luar Yogyakarta sangat banyak yang ingin berinvestasi di sini, sehingga berapapun harga tanah di Yogyakarta akan dibeli. Ditambah juga mulai banyaknya perusahaan leasing yang tumbuh di Yogyakarta.
Ketiga hal ini jika tidak segera diatasa, maka akan mengantarkan Yogyakarta pada titik kritis. Harus ada aturan tata ruang yang jelas. Jika kondisi ini terus dibiarkan maka akan berimbas buruk pada lingkungan. Seperti misalnya bisa saja masyarakat akan kesulitan mendapat air bersih.
leh karena itu, pemerintah daerah masing-masing wilayah harus mau bersinergi mengatur tata ruang DIY. Masing-masing wilayah memang memiliki aturan tata ruang sendiri, namun sinergi tetap diperlukan. Sebab membangun DIY tak hanya tanggungjawab salah satu wilayah, tetapi seluruhnya.
Jika dilihat dari sisi positif, Yogyakarta memang akan berkembang sebagai kota modern seperti halnya Jakarta. Namun, sisi keistimewaan Yogyakarta juga tetap harus dipertahankan. Jika kondisi ini dibiarkan, apa bedanya Yogyakarta dengan Jakarta? Lalu di mana letak keistimewaannya?
Pemerintah harus mulai melibatkan masyarakat dalam hal tata ruang. Selama ini persoalan investasi tanah dan bangunan seakan-akan hanya milik pemerintah dan privat saja. Masyarakat Yogyakarta bukannya menutup mata dengan kondisi wilayah mereka. Kalau mereka menutup mata, tidak akan ada protes-protes penolakan apartemen atau hotel yang beberapa waktu terakhir ini mulai marak. (Dilansi dari Tribun Jogja (11/05/15) hal.13)