Departemen Ilmu Hubungan Internasional kembali menginisiasi ambassadorial lecture yang bertajuk “Dinamika Kemitraan Indonesia dan Uni Eropa: Peluang dan Tantangan” pada 18 Oktober lalu. Pada kesempatan kali ini menghadirkan HE Yuri O. Thamrin selaku Duta Besar Republik Indonesia untuk Uni Eropa, Belgia, dan Luksemburg. Selain itu, acara ini juga dihadiri oleh wakil rektor bidang Kerja Sama dan Alumni, Dr. Paripurna, S.H., M.Hum., LL.M untuk memberikan sambutan.
Pada sambutannya, Paripurna mengungkapkan bahwa kesuksesan Uni Eropa dalam penyatuan negara-negara patut dicontoh terutama bagi negara-negara ASEAN. “Penyatuan ini adalah keberanian mereka untuk menyatukan diri guna mencapai perdamaian juga memperkuat Eropa dari negara-negara lain. Tentu ini jadi rujukan yang lain bagi Indonesia di kawasan ASEAN,” paparnya. Menurutnya, Uni Eropa adalah kawasan yang strategis untuk menjadi mitra. Meskipun ekspor Indonesia ke Eropa termasuk sulit karena memiliki strandar khusus, bagi Paripurna hal tersebut justru menjadi tantangan bagi Indonesia untuk mendapat bargaining position yang lebih bagus.
Yuri dalam pemaparannya, menambahkan bahwa bargaining position Indonesia dengan Uni Eropa sudah terbentuk dengan baik. Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh persamaan ideologi demokrasi antara Indonesia dan Uni Eropa. “Kemungkinan perang antarnegara demokrasi itu kecil sekali. Kalau di negara demokrasi tidak mudah untuk memutuskan perang. Oleh karena itu dianggap bahwa muncul demokrasi itu bagus. Jadi Indonesia itu demokrasi Uni Eropa demokrasi, oleh karena basis hubungan kita solid,” jelasnya.
Namun, bagi Yuri, kedekatan Uni Eropa dengan Indonesia tidak hanya terbangun melalui persamaan ideologi tetapi juga material reward. “Kalau sama-sama dari UGM pasti dekat tapi kalau yang satu minta rokok terus mungkin hubungan kita tidak akan dekat. Kalau saling menguntungkan, hubungan kita akan dekat,” imbuhnya. Yuri menjelaskan bahwa perdagangan antara Indonesia dan Uni Eropa mencapai 28.5 miliar dolar. Indonesia menikmati kurs perdagangan sebesar 4,7 miliar dolar. Sedangkan dari sisi investasi Uni Eropa ke Indonesia juga salah satu yang besar dengan jumlah mencapai 2,2 miliar dolar. Ditambah lagi dalam bidang tourism, tahun 2017 ini turis yang berasal dari Uni Eropa mencapai 2 juta pengunjung. Keadaan ini tentu memberikan keuntungan baik bagi Indonesia maupun Uni Eropa.
Selain kedua faktor tersebut, Yuri menambahkan bahwa Indonesia sebagai negara demokrasi muslim moderat juga cukup mendukung kedekatan dengan Uni Eropa. Hal tersebut diungkapkan langsung oleh presiden parlemen Uni Eropa, Martin Schulz, kepada Presiden Jokowi, bahwa Indonesia sebagai model dimana demokrasi dan muslim moderat bisa bergandengan tangan. “Bisa dikatakan menjadi duta besar untuk saat ini lebih mudah dari ketika zaman orde baru. Ketika orde baru kita defisit di banyak hal ya demokrasi ya human right dan sebagainya,” tambahnya.
Salah satu pencapaian cukup baik dari KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) adalah disepakatinya lisensi FLEGT atas produk kayu Indonesia yang diekspor ke Uni Eropa. Kesepatan tersebut menandakan bahwa produk Indonesia tidak dikaitkan dengan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia). Bagi Yuri, hal tersebut merupakan pencapaian yang luar biasa karena tidak mudah untuk berunding dengan pihak Eropa.
Selain peluang yang besar, tentu hubungan antara Indonesia dan Uni Eropa memiliki tantangan tersendiri. Yuri mengatakan bahwa fenomena Islamophobia yang menjangkit Uni Eropa menjadi tantangan bagi Indonesia. Hal ini mengingat penduduk Indonesia yang mayoritas muslim. Selain itu, rasisme bagi di Indonesia maupun Uni Eropa juga menjadi sebuah tantang tersendiri. Menurut Yuri, “Ini adalah kanker sosial yang akan menggerus nilai-nilai demokrasi.” (/ran)