Terhitung tanggal 20 Oktober 2014 hingga bulan Desember tahun 2017 ini, pasangan Presiden dan Wakil Presiden, Joko Widodo dan Yusuf Kalla (Jokowi-JK) sudah melewati tiga tahun masa kerja dalam membangun negeri. Sebagian masyarakat beranggapan pasangan ini memiliki kinerja yang bagus, salah satunya dilihat dari peningkatan pembangunan infrastruktur terutama wilayah di luar Jawa. Namun, sebagian lagi beranggapan bahwa pemerintahan Jokowi-JK memiliki kinerja yang buruk karena terkesan tidak berpihak kepada rakyat. Hal ini salah satunya dilihat dari konflik agraria yang terjadi di beberapa daerah.
Atas dasar tersebut, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) UGM bersama Kantor Staf Presiden Republik Indonesia (KSP) dan United Nations Development Programme (UNDP) menyelenggarakan Talkshow yang bertajuk “Telaah Kritis 3 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK” (20/12). Acara yang diselenggarakan di Auditorium Magister Manajemen UGM ini bertujuan memperkuat komunikasi publik antara pemerintah dan masyarakat. Selain itu, acara ini juga ditujukan untuk memberikan pesan teknokratis dan membuka ruang diskusi publik tentang arah kebijakan pemerintah. Sehingga dengan adanya ruang diskusi ini, masyarakat bisa memberikan masukan dan saran untuk kinerja Jokowi-JK dua tahun ke depan.
Acara ini menghadirkan Yanuar Nugroho selaku Deputi Kepala Staf Kepresidenan sebagai keynote speaker yang menyampaikan capaian-capain pemerintahan Jokowi-JK selama 3 tahun ini. Selain itu, acara ini juga menghadirkan penanggap dari berbagai bidang, diantaranya adalah Alfath Bagus selaku Presiden Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa-Keluarga Mahasiswa (BEM KM) UGM 2017, Achmad Nurmandi selaku Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Alimatul Qibtiyah selaku Direktur Pusat Studi Wanita Universitas Islam Negeri, Christophe Bahuet selaku UNDP Indonesia Country Director, Dr. Hasto Wardoyo selaku Bupati Kulonprogo, Octo Lampito selaku Pimpinan Redaksi Harian Kedaulatan Rakyat, dan Rimawan Pradiptyo selaku Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM.
Dalam pemaparan awalnya, Yanuar menekankan pada isu keadilan sosial yang fokus pada empat aspek. Pertama, aspek pembangunan ekonomi. Yanuar menjelaskan bahwa dalam pemerintahan Jokowi-JK pembangunan ekonomi didorong melalui investasi dan kewirausahaan. Kedua, persoalan kemiskinan. Dalam menanggapi permasalahan ini, pemerintah memberikan bantuan sosial berupa Kartu Indonesia Sejahtera dan Kartu Indonesia Pintar.
Ketiga, persoalan ketimpangan antarwilayah di Indonesia. Dalam menanggapi persoalan ini, salah satunya terlihat dari keberhasilan pemerintahan Jokowi-JK dalam membangun infrastruktur di wilayah luar Pulau Jawa. Dimana di tahun sebelumnya, wilayah-wilayah tersebut hampir tidak terjamah. “Harga bahan-bahan pokok, seperti beras, gula, semen sudah tidak begitu timpang antara harga Jawa dengan Papua, Kalimantan, atau pulau lainnya,” tambahnya. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), indeks ketimpangan 2017 ini menurun dari 0,394% menjadi 0.393%. Keempat, aspek stabilitas politik-keamanan dan pemajuan kebudayaan. Hal ini terkait salah satunya mendorong kesetaraan gender yang menjadi komitmen pemerintah.
Mewakili suara mahasiswa, Alfath mengapresiasi capaian-capaian yang telah diungkapkan oleh Yanuar. Namun, Alfath juga menggarisbawahi beberapa hal yang masih harus diperbaiki dalam pemerintahan Jokowi-JK ke depan. Salah satunya, Alfath mengeluhkan adanya penurunan indeks demokrasi di Indonesia. Hal ini cukup berdampak pada pergerakan mahasiswa dalam mengawal kinerja pemerintah yang sedang berjalan. “Belakangan ini muncul polarisasi bahwa BEM ditunggangi dengan partai politik oposisi,” ungkapnya.
Lain halnya dengan Dr. Hasto yang lebih menekankan pada persoalan revolusi mental. “Pak Jokowi sudah berhasil menjadi role model dengan membuat new public management yang baru melalui kebijakan revolusi mentalnya,” ungkap Hasto. Namun, bagi Hasto, untuk saat ini yang lebih penting adalah menciptakan role model dalam membangun budaya anti kolusi –korupsi- nepotisme (KKN). Role model di sisi inilah yang menurut Hasto belum terbangun di revolusi mental ala Jokowi-JK.
Christophe juga membenarkan hal tersebut, bahwa korupsi adalah isu penting yang harus ditangani pemerintah Indonesia, bahkan dunia. Selain menyangkut stabilitas politik, korupsi juga akan menggangu laju ekonomi suatu pemerintahan. Oleh karena itu, Christophe menghimbau kepada pemerintahan Jokowi-JK untuk melindungi dan memperkuat peran lembaga yang mengani persoalan korupsi, dalam hal ini adalah Komisi Pemberantas Korupsi (KPK). (/ran)