Bertempat di ruang 201 lantai dua Gedung BC FISIPOL UGM, Center for Digital Society (CfDS) mengadakan konferensi pers untuk memaparkan hasil risetnya mengenai kajian petisi online. Petisi online merupakan pernyataan yang disampaikan kepada pemerintah untuk meminta agar pemerintah mengambil tindakan terhadap suatu hal. Konferensi pers dipimpin oleh Dr. Dedy Permadi sebagai Direktur CfDS beserta tiga asisten riset CfDS, yaitu Viyasa Rahyaputra, Chiara Anindya, dan Nitya Saputri Rizal. Data-data yang dipaparkan adalah seluruh petisi daring yang muncul di Change.org dari jangka waktu Februari tahun 2016 sampai Februari tahun 2017 dengan jumlah 1.521 petisi yang diteliti oleh lima enumerator. Acara ini juga dihadiri sekitar 8-10 jurnalis media massa lokal.
Acara dimulai dengan adanya pembagian isu petisi yang dibagi menjadi 7 jenis, yaitu politik, sosial, lingkungan, keluhan pengguna, hiburan dan olahraga, ekonomi, dan lain – lain. Setelah diteliti, isu politik (628 petisi) dan isu sosial (396 petisi) merupakan jenis petisi yang paling populer dari 1.521 petisi yang terhitung. Jika dibahas lebih mendalam mengenai isu spesifik yang diangkat oleh petisi, maka isu keadilan dan kesetaraan menduduki peringkat pertama paling banyak dengan 318 petisi. Selain itu dilanjutkan dengan sasaran petisi, dimana pemerintah menjadi kelompok sasaran paling sering untuk dibahas dengan jumlah 1.124 petisi. Melanjutkan fakta, jabatan – jabatan seperti Menteri (536 petisi), Presiden (482 petisi), dan DPR/DPRD (187 petisi) menjadi tiga sasaran petisi spesifik paling banyak.
“Siapapun bisa ngomong, terbukti dengan banyaknya kelompok kepentingan anomik yang muncul di Indonesia”, ucap narasumber Dedy Permadi yang sedang menjelaskan fenomena maraknya petisi online yang diakibatkan oleh sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia. Kelompok kepentingan paling banyak muncul ketika terdapat petisi yang menyinggung unsur keagamaan. Terbukti dengan fakta bahwa empat petisi paling banyak ditandatangani oleh masyarakat merupakan petisi yang berhubungan dengan unsur keagamaan, sebagai contoh petisi dengan judul “Cabut Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi” menduduki peringkat pertama pendukung paling banyak dengan jumlah 207.097 penandatangan.
Pada akhirnya hampir semua petisi hanya berakhir sebagai petisi dan tidak ditindak lanjuti. Menurut penjelasan yang disampaikan oleh Viyasa, hanya ada empat petisi yang ‘menang’ atau berhasil untuk mencapai tujuannya, namun ‘menang’ nya suatu petisi tidak hanya dikarenakan oleh banyak dukungan dalam petisi, terdapat faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi berhasil atau tidaknya suatu kepentingan. Dengan persentase keberhasilan petisi hanya sebesar 0,26 %, dan sekitar 62,6 % petisi hanya mendapatkan dukungan kurang dari 100 orang maka efektifitas petisi dipertanyakan. Namun bukan berarti metode lain seperti pendekatan jalanan/demo merupakan metode yang lebih efektif agar pemerintah mendengarkan kepentingan masyarakat, tetapi semua kembali lagi kepada siapa yang memiliki kepentingan, semakin berkuasa seseorang maka kepentingannya akan semakin mudah untuk terealisasi.
Fenomena maraknya petisi yang bermunculan ini juga dinamakan dengan fenomena buzzer, dimana banyaknya noise atau suara-suara digital yang tidak bermakna dan hanya bersuara membuat kebisingan dibandingkan dengan voice atau suara-suara digital yang benar-benar bermakna dan memiliki tujuan yang jelas. Untuk Penjelasan akhir, Dr. Dedy Permadi menjelaskan dengan berkembangnya teknologi maka media digital muncul sebagai metode baru masyarakat untuk memberikan pandangannya kepada pihak-pihak yang dituju. Namun beliau juga menambahkan bahwa seluruh pemerintah di Indonesia harus siap menampung suara-suara ini dengan menyediakan sebuah struktur dan kebijakan yang jelas.
Sebagai contohnya beliau menjelaskan pemerintah provinsi DKI Jakarta sudah memiliki sistem yang dapat menampung suara-suara digital dari media sosial seperti Facebook, Instagram, YouTube dan media lain-lain serta menyusun suara-suara tersebut menjadi sebuah laporan yang diikutsertakan dalam rapat besar mingguan pemerintah provinsi. Acara ditutup dengan berbagai pertanyaan oleh jurnalis-jurnalis lokal yang mengaitkan fenomena petisi ini dengan peristiwa Pemerintah Daerah Yogyakarta yang akan melarang transportasi online beredar di kawasan kota Yogyakarta.