Pidato Prof. Dr. Suharko Kobarkan Semangat Perjuangan dari Kampus di Dies natalis Fisipol ke-69

Yogyakarta, 19 September 2024—Krisis iklim, geopolitik,serta ketegangan ekonomi saat ini tengah menjadi masalah global. Dalam pidato berjudul “Urgensi Menavigasi Prakarsa-Prakarsa Universitas dalam Merespons Polikrisis dan Mempromosikan Demokrasi Inklusif”, Prof. Dr. Suharko, S.Sos., M.Si memaparkan analisanya terhadap dampak situasi global terhadap masa depan, termasuk dalam konteks pelaksanaan demokrasi. Pidato tersebut disampaikan sebagai rangkaian Dies Natalis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM ke-69 pada Kamis (19/9).

Suharko menyebut krisis global yang terjadi saat ini dapat terakumulasi membentuk polikrisis. Tidak hanya Indonesia, bahkan seluruh dunia saat ini juga menghadapi krisis global yang sama. Terdapat lima sifat polikrisis yang bisa diidentifikasi menurut Suharko, yakni jaringan yang kompleks dan dinamis, hubungan sebab akibat yang non-linear, proses kasual yang melintasi batas administratif, sektor sosial, dan lintas disiplin ilmu, serta kecenderungan membentuk fenomena “Black Swan”. Seluruh problematika tersebut berkembang secara kompleks, sehingga membutuhkan penyelesaian rumit yang berdampak pada banyak sektor.

“Akar masalah dari polikrisis yang terjadi di Indonesia ini adalah konsentrasi kekuasaan. Membuncahnya berbagai skandal di Indonesia saat ini mengindikasikan semakin kuatnya otokrasi di lini-lini politik, ekonomi, sosial, dan politik,” tutur Suharko. Pernyataan tersebut mengacu pada penyelenggaraan demokrasi baru-baru ini yang dinilai semakin jauh dari prinsip demokrasi sebenarnya. Fenomena ini pun terjadi berkali-kali hingga menimbulkan kemarahan luar biasa dari masyarakat.

Mengulik kembali pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan, gejolak penyelewengan demokrasi mulai terjadi. Suharko menjelaskan, Jokowi sebagai presiden membebaskan pemerintah untuk membubarkan segala macam gerakan sipil yang memprotes pengekangan demokrasi melalui aturan tersebut. Kemudian pada tahun 2019, DPR mengesahkan KUHP yang menyalahi prinsip demokrasi, yaitu aturan mengenai penghinaan presiden, wakil presiden, dan lembaga negara dapat dipidana.

Degradasi demokrasi terus terjadi sampai menjelang Pemilu 2024 di mana Mahkamah Konstitusi tiba-tiba mengubah syarat pencalonan capres/cawapres dalam UU Nomor 7 Tahun 2017. Keputusan tersebut menjadi jalur emas bagi putra sulung presiden, Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai calon wakil presiden. “Aneka ilustrasi regresi demokrasi di Indonesia menunjukkan bahwa pembegalan demokrasi merupakan proses yang panjang dan sistematis,” ujar Suharko.

Kondisi tersebut diperparah dengan adanya disrupsi teknologi yang memunculkan beragam produk baru di masyarakat. Berkembangnya Artificial Intelligence (AI), menjamurnya perusahaan financial technology atau fintek yang melayani pinjaman dana, transisi lapangan kerja digital, sampai industri freelance. Suharko menyebut bahwa fokus pemerintah dalam mewujudkan masyarakat digital secara merata seringkali tumpang tindih dengan prinsip kepentingan yang berlaku. Seluruh kebijakan tersebut apakah sudah menjamin kepentingan publik, atau justru pihak-pihak tertentu saja.

Tak hanya seputar geopolitik, digitalisasi, dan ekonomi, dunia berhadapan dengan kondisi bumi yang semakin menunjukkan dampak dari segala aktivitas manusia. Suhu bumi ditaksir telah mengalami peningkatan drastis selama beberapa tahun terakhir, hingga memunculkan isu krisis iklim. Tentunya fenomena ini muncul akibat eksploitasi alam berlebih dan tidak bertanggung jawab oleh industri. Suharko menyebutkan serangkaian program pemerintah tidak tepat sasaran yang justru menimbulkan masalah ekologis. Pemerintah juga belum menerapkan penanganan sistematis dalam kasus-kasus kerusakan lingkungan.

“Ada beberapa daerah yang berdekatan dengan Proyek Strategis Nasional (PSN) atau kegiatan ekstraktif lainnya, bencana ekologis sudah banyak bermunculan. Beberapa kali ditemukan kasus pencemaran air dan sungai yang mengganggu pemukiman,” tutur Suharko. Ia menyebutkan kasus ekstensifikasi aktivitas PLTU di Cilacap yang menimbulkan gangguan pernafasan bagi penduduk sekitar. Sayangnya, kasus tersebut hanyalah satu dari jutaan kasus kerusakan lingkungan dan krisis iklim.

Kampus sebagai pusat akademik nasional memiliki tanggung jawab besar merintis strategi penyelesaian polikrisis tersebut. Banyak masyarakat terdampak yang haknya seringkali dibatasi, disingkirkan, ditindas, bahkan dikecualikan. Perguruan tinggi harus diposisikan lebih dari sekedar ruang penelitian dan diskusi saja, namun juga pembentukan bibit-bibit masa depan yang mampu mengembalikan fitrah demokrasi berlandaskan kepentingan rakyat.

“Pendidikan politik menjadi kunci bagi bangkitnya gerakan politik kewarganegaraan yang selama ini menggerogoti demokrasi. Sekat yang membatasi kampus dan rakyat harus dihilangkan,” tegas Suharko. Pidato tersebut menggambarkan secara utuh tantangan apa yang dihadapi dan bagaimana sektor akademik perlu bertindak. Harapannya, kontribusi kampus dapat kembali digaungkan agar masyarakat dapat kembali dipenuhi hak-hak hidupnya dalam berdemokrasi. (/tsy)