Tidak hanya di Indonesia, Private Tutoring, atau lebih dikenal sebagai bimbingan belajar (bimbel) swasta juga sebuah fenomena yang sangat umum di Korea Selatan dengan sebutan hagwon. Keberadaannya mendorong pemerintah Korea untuk mengambil tindakan karena terjadinya persaingan kualitas antara pendidikan formal di sekolah dengan hagwon. Salah satunya dengan memberlakukan kebijakan jam malam (curfew) di berbagai provinsi dan kota di Korea. Hal ini disampaikan oleh Min Hyo Cho, peneliti dari Universitas Sungkyunkwan, dalam kuliah tamu “Understanding Korean Welfare and Social Policy”, Senin (15/1).
“Sejak 1978, pemerintah Korea menerapkan pemerataan kualitas sekolah menengah. Caranya dengan menempatkan para siswa ke sekolah secara acak sesuai area tempat tinggalnya,” terang Cho. Namun, usaha pemerintah tersebut hanya mendorong konsumsi jasa hagwon ke level sekolah menengah atas menuju universitas. Masyarakat menggelontorkan pengeluaran yang cukup besar untuk hagwon agar anak-anaknya dapat diterima di universitas-universitas unggulan.
“Menanggapi hal tersebut, bimbingan belajar dibuat menjadi ilegal oleh pemerintah. Namun, ini tidak begitu dipatuhi pemerintah karena tingginya persaingan antarsiswa,” lanjut Cho. Akibatnya, bimbel menjadi bisnis gelap dan hanya masyarakat dengan tingkat sosio-ekonomi teratas yang bisa mendapatkan pelayanan bimbel.
Larangan terhadap private tutoring pun dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi Korea Selatan pada tahun 2000. Hagwon pun kembali dapat diakses masyarakat. Namun, pemerintah menyimpan kekhawatiran dengan perilaku belajar siswa di Korea yang mencapai larut malam dengan bantuan private tutor. Salah satu alasan terbesar bersal dari ketidakpuasan siswa pada materi yang mereka terima di sekolah. Oleh karena itulah kebijakan jam malam untuk pelajar diberlakukan juga untuk membatasi pergerakan hagwon.
“Meski demikian, kebijakan ini membuahkan kekecewaan. Tidak ada perubahan dalam pola pengeluaran rumah tangga untuk bimbingan belajar. Sebaliknya, terdapat pengaruh bagi para siswa dalam pola penggunaan waktu di malam hari, baik untuk tidur maupun untuk kegiatan di internet yang non-akademis,” ringkas Cho.
Kota dan provinsi memiliki kebijakan yang berbeda-beda mengenai jam malam. Beberapa kota tidak menerapkannya. Sedangkan, di Seoul, Gwangju, Daegu, dan provinsi Gyeonggi, penghentian aktivitas belajar siswa dengan hagwon dimulai pukul 22.00. Cho sendiri telah menyimpan skeptisisme terhadap efek yang diharapkan dari kebijakan ini. “Meskipun siswa diwajibkan untuk pulang dan berisitirahat, apakah mereka akan menggunakan waktu ini secara produktif? Mereka mungkin akan chatting atau bermain online game. Inilah yang disebut unintended impact dari kebijakan publik,” terang Cho.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa di kota-kota yang disebutkan di atas, tidak ada perubahan signifikan yang terjadi setelah 2011, tahun diberlakukannya kebijakan jam malam. Permintaan keluarga-keluarga Korea Selatan dengan anak usia SMA terhadap private tutoring tidak melemah. Sedangkan, memang terdapat tren menurun secara umum pada lama waktu (jam) yang digunakan siswa untuk belajar bersama tutor privat.
Dari segi jam tidur, jam tidur siswa bertambah. Namun, lama penggunaan internet setelah pukul 22.00 malam meningkat untuk kegiatan-kegiatan yang tidak non-akademis. “Perlu dicatat terdapat pengecualian pada anak-anak usia 16 tahun kebawah yang tidak memiliki koneksi internet. Pemerintah mematikan koneksi bagi mereka sehingga jam tidur diperkirakan meningkat di kelompok usia ini,” tambah Cho.
Hal yang perlu digarisawahi adalah perbedaan pengaruh pada kelompok dari kelas sosio-ekonomi yang berbeda. “Terbukti bahwa tidak ada efek pada 20% warga yang termasuk kelompok dengan pendapatan tertinggi. Jam tidur dan penggunaan internet cenderung sama. Kelompok ini juga dapat menghadirkan tutor privat di rumah.” Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik belum tentu dapat memiliki efek yang diharapkan terutama dengan adanya perbedaan sosio-ekonomi di masyarakat.
Di sisi lain, Cho menambahkan bahwa pemerintah Korea juga melakukan berbagai usaha untuk mendorong kepercayaan masyarakat pada lembaga pendidikan formal yang disediakan pemerintah. Hal ini penting karena hagwon ada bukan untuk membantu siswa yang kesusahan, melainkan untuk membantu meningkatkan performa para pelajar. “Pemerintah menaikkan gaji guru, menambah program after-school, dan bahkan menyediakan acara tutorial di televisi nasional sehingga siswa dapat belajar mandiri.”
Bagi Cho dan rekan-rekannya, penelitian ini bukan hanya dapat menjelaskan fenomena private tutoring yang menjadi isu penting di Korea Selatan. Namun, ia juga berharap Indonesia dan Korea dapat berbagi pengalaman karena kepemilikan permasalahan yang serupa. (/KOP)