PolGov UGM Gandeng KU Leuven Rilis Hasil Big Data Terkait Kontroversi Pelarangan Perayaan Valentine di Indonesia

Yogyakarta, 10 Mei 2021━Tepat pada hari Senin (10/5/2021), PolGov merilis hasil riset mengenai persoalan kontroversi Pelarangan Perayaan Valentine di Indonesia dengan menggandeng KU Leuven yang berada di Belgia sebagai partner riset. Proyek garapan kolaborasi antara PolGov dan KU Leuven ini memiliki perhatian terhadap riset atas isu-isu toleransi dan tahun ini merupakan tahun terakhir kerjasama mereka. Rilis hasil Big Data ini diawali dengan pemaparan hasil riset dari Peneliti PolGov, Anggalih Bayu Muh Kamin, dan Dian Nuri Ningtyas selaku Project Manager Riset Kerjasama PolGov dengan KU Leuven.

Anggalih memulai pemaparannya dengan mengungkap bahwa riset ini dilatarbelakangi dengan adanya pelarangan perayaan Valentine dari Pemerintah Daerah maupun cabang-cabang Majelis Ulama Indonesia. Upaya pelarangan ini ditengarai memunculkan kontroversi yang dalam riset ini ditelisik melalui perbincangan publik pada platform Twitter dan Media Daring. Riset pertama yang melacak perbincangan publik pada Twitter menggunakan serangkaian metode yang terdiri atas crawling, cleansing, data classification, dan data visualization. Begitu pun dengan riset pada perbincangan publik pada Media Daring, metode penelitian dilakukan mulai dari menentukan rumusan masalah, penentuan kata kunci, pengambilan data berdasarkan kata kunci, pembersihan data dan teks, visualisasi data, hingga melakukan analisis. Riset ini ditujukan dalam melihat bagaimana sikap publik, apakah cenderung toleran atau justru intoleran terhadap pelarangan perayaan Valentine?

Riset pada perbincangan publik yang menggunakan Twitter ini dilakukan dengan mengkategorikan sejumlah 51,88% dari 324.383 tweet mengenai larangan Valentine yang dirujuk dari data-data lima tahun terakhir atau sejak tahun 2016 sampai dengan tahun 2021. Di mana diperoleh hasil yang terklasifikasi atas perbincangan berkonten full tolerance (55,55%), semi intolerance (4,29%), dan kategori neutrality yang memiliki tingkat engagement lebih tinggi dibandingkan dengan volume tweet. Anggalih menjelaskan temuan riset ini dengan menyatakan bahwa kondisi yang menggambarkan sikap warga net ini sejalan dengan konsep milik Menchik (2016), di mana toleransi di Indonesia merupakan jenis toleransi komunal. Hal ini juga dipertegas Anggalih bahwa keberadaan media sosial turut berkontribusi dalam mewadahi terbentuknya toleransi komunal pada kasus pelarangan Valentine di Indonesia. Menariknya lagi, “Tren perbincangan di Twitter sejak tahun 2016 hingga 2021 terkait pelarangan Valentine justru menjadi ajang pembelajaran bagi warga net untuk semakin toleran atau justru tidak sama sekali memperdulikan himbauan pelarangan.” Ujar Anggalih.

Sementara riset perbincangan perayaan Valentine pada Media Daring dilakukan dengan melacak publikasi artikel dari tahun 2016 sampai 2021. Dian menuturkan setidaknya rata-rata per tahun terbit 1.000an artikel mengenai perayaan Valentine dari total 5.290 artikel oleh 205 portal dalam kurun waktu lima tahun. Liputan 6 menempati posisi teratas sebagai Media Daring yang paling banyak (713 artikel) meliput pemberitaan Valentine dan disusul posisi paling bawah, Sindo News dengan jumlah terkait sebanyak 125 artikel. Isu Valentine dalam pemberitaan Media Daring tidak mengandung kecenderungan konten intoleran, di mana hal ini dipicu lantaran isu Valentine bukan merupakan isu tunggal yang booming atau dalam kata lain Valentine merupakan isu yang menumpang pada isu lainnya dan ini terus berubah sejak tahun 2016 hingga 2021. Kepada audiens, Dian memberikan kesimpulan akan hal ini dengan pernyataan, “Kecenderungan yang muncul dalam pemberitaan mengenai Valentine oleh Media Daring dominan membahas hadiah, bunga, coklat, dan lain-lain. Hal ini sejalan dengan kajian yang dilakukan Syam (2007) yang menyatakan bahwa perayaan Valentine tidak dapat dilepaskan dari upaya Pasar untuk penetrasi budaya dan ekspansi modal, hal inilah yang turut membuat masyarakat kita semakin konsumtif.” Tutup Dian. (/Adn).