Yogyakarta, 11 November 2022—Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik (DMKP) Fisipol UGM kembali menggelar Policy Dialogue pada Jumat (11/22). Seri dialog kebijakan ke empat ini mengulas tentang kebijakan ekonomi berkelanjutan dalam bingkai inovasi dan kepemimpinan. Bertajuk Enforcing Environtmental Policy for Sustainable Economic Development: Leadership and Policy Innovation, webinarini dihadiri lebih dari 50 partisipan dan dilaksanakan secara daring melalui zoom dan kanal YouTube DMKP.
Ekonomi tidak hanya seputar ulasan angka finansial saja, namun juga bagaimana perkembangan ekonomi dilihat dari angka kesejahteraan masyarakat dalam negeri. Terlebih dengan kondisi geografis sebuah negara, tentu akan sangat berpengaruh pada daya tahan pangan nasional. Isu ini melatarbelakangi terbentuknya GGGI (Global Green Growth Institute). “Tujuan utama GGGI adalah membantu negara-negara berkembang untuk merancang strategi ekonomi yang berkelanjutan. Kita tidak berusaha mengintervensi, namun memberikan pendampingan bagi pemerintah dengan mendengarkan apa kemauan mereka,” jelas Nobert Maass selaku representasi Indonesia dalam GGGI.
Potensi ekonomi paling besar bagi negara maritim seperti Indonesia adalah pemanfaatan sumber daya perairan melalui blue economy. Livita Sumali, salah satu peneliti United Nations Development Program menuturkan bahwa penting bagi pemerintah untuk menggabungkan kebijakan perairan dengan blue economy. “Secara umum, blue economy dan green economy sebenarnya memiliki definisi yang hampir sama, yaitu bagaimana kita mengembangkan ekonomi tanpa menyebabkan kerusakan pada planet kita,” tutur Livita. Ia menambahkan dalam penjelasannya tentang AIS (Archipelagic and Island States Forum), program pengembangan maritim ini juga melibatkan banyak kalangan innovator, termasuk mahasiswa.
Tidak hanya masalah lingkungan, ketahanan pangan nasional turut menjadi perhatian dalam diskusi ini. Umumnya, negara berkembang memiliki dua permasalahan utama dalam pangan, yaitu kekurangan pangan dan food waste, “Indonesia menjadi negara ke-3 terbesar yang menyumbang sampah makanan paling banyak. Kenapa hal ini menjadi perhatian bagi lingkungan? Akumulasi sampah makanan tersebut menghasilkan senyawa methane yang dapat menyebabkan pemanasan global, dalam jumlah tiga kali lipat lebih banyak daripada karbon dioksida,” terang Eva Bachtiar, pendiri dari program Garda Pangan.
Seri diskusi kebijakan ini dihadirkan tidak hanya untuk memberikan pandangan umum tentang isu-isu nasional, namun juga menambah wawasan bagi mahasiswa agar lebih peka terhadap lingkungan sekitar. Kultur masyarakat saat ini terbentuk karena karakteristik setiap individu anggotanya. Maka untuk mengubah kultur tersebut, haruslah dimulai dari diri masing-masing. (/tsy)