Rabu (26/10) siang, Korps Mahasiswa Politik dan Pemerintahan (KOMAP) mengadakan diskusi “Warung Politik” dengan tema Tantangan Persatuan dalam Kebhinekaan. Bertempat di Selasar Barat Fisipol UGM, diskusi kali ini merupakan rangkaian acara Lomba Debat dan Essay Nasional bertajuk “Polgovdays 2016”. Diskusi ini mengundang dua pembicara yaitu Halili Hasan, peneliti di SETARA Institute sekaligus Dosen Fakultas Ilmu Sosial UNY dan Roy Murtadho, editor Islambergerak.com.
Diskusi yang dimulai pada pukul 13.30 WIB diawali dengan penyampaian materi oleh Halili. Politik Identitas menurut Halili bukan baru-baru ini muncul, tetapi sudah muncul sejak Orde Baru. “Di era sekarang, banyak yang beranggapan orang yang berbicara tentang toleransi di media sosial adalah orang yang kurang kerjaan” tegas Halili. Politik identitas menjadi penting karena seringkali bersinggungan dengan intoleransi antar sesama.
Gus Roy, sapaan akrab Roy Murtadho sebagai pembicara kedua menyentil politik identitas dengan “Bagaimana mungkin aku dapat menerima engkau yang tidak bisa menerima aku”. Ihwal identitas yang turut berperan dalam ranah politik dan menimbulkan perebutan kekuasaan dan pengaruh dalam ruang publik. Seringkali politik identitas yang membajak ruang publik sehingga kontestasi yang terjadi akan menciderai kehadiran ruang publik yang dikuasai oleh identitas tertentu.
Kasus yang menjadi sorotan utama dalam diskusi ini yaitu pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi di Tolikara pada tahun 2015 dan kasus kekerasan terhadap salah satu kelompok mahasiswa daerah di kota pendidikan, Yogyakarta. Kedua kasus ini membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran identitas di negara yang menganut sistem demokrasi. Menariknya, berdasarkan laporan dari The Wahid Institute (2016) pada 2015, tindakan terhadap kekerasan kebebasan beragama/berkeyakinan terbanyak dilakukan oleh aktor negara dengan 130 tindakan atau 52%. Sisanya, 119 tindakan (48%) dilakukan oleh aktor non-negara.
Diskusi ditujukan untuk membuka kembali ruang dialektis dan demokratis di kalangan mahasiswa dalam menanggapi permasalahan bangsa dan negara, memahami persoalan politik identitas yang sering ditemukan sehari-hari, hingga berdiiskusi untuk menemukan jawaban atas tantangan persatuan dalam kebhinekaan. Dari pemaparan kedua pembicara mampu membuka suara-suara mahasiswa peserta diskusi yang berasal dari berbagai macam universitas di Sumatera, Jawa, hingga Sulawesi. Suara-suara tersebut bergema dan untuk saling berdialektika dan menyadarkan kembali kealpaan kita selama ini. (Taufik)