Bertempat di Ruang Auditorium Lantai 4 Fisipol UGM, Senin (4/9) Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) berkolaborasi dengan Departemen Ilmu Komunikasi menggelar seminar bertajuk Contemporary Journalism in Digital Era. Hadir sebagai pembicara yaitu Prof. Thomas Hanitzsch (Ludwig Maximilian Universitat) dan Dr. Kuskridho Ambardi (Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM).
Seminar ini dibagi dalam dua topik. Pertama, membahas mengenai World of Journalism: the Role of News Media and Professional Identities of Journalists in 67 Countries yang disampaikan oleh Prof. Hanitzsch. Sesi kedua berbicara mengenai Digital Journalism: The Contemporary Experience and Views of Indonesian Journalists.
World of Journalism: the Role of News Media and Professional Identities of Journalists in 67 Countries diteliti oleh Prof. Hanitzsch sejak tahun 2012 di enam puluh tujuh negara. Penelitian ini menggunakan metodologi pengembangan kolaboratif. Urgensi dari penelitian yang berlangsung selama lima tahun tersebut adalah peran jurnalistik yang semakin memudar bertolak belakang dengan pentingnya keberadaan jurnalisme khususnya bagi negara demokrasi.
Ada dua ukuran yang digunakan dalam penelitian ini yaitu normative roles dan cognitive roles. Normative roles mengukur bagaimana apa yang jurnalis lakukan untuk kepentingan masyarakat apakah sebagai pemberi informasi, pendidik, investigator, analis dan lain-lain. Sedangkan cognitive roles melihat dari intervensi dimana jurnalis dapat berperan sebagai
1. Advokat: perubahan sosial, pengaruh opini publik, menetapkan agenda politik dan mendukung pembangunan nasional
2. Memantau: memberikan informasi politik, memotivasi orang untuk berpartisipasi dalam kebijakan
3. Kolaboratif: mendukung kebijakan pemerintah, menyampaikan citra positif para pemimpin politik
4. Akomodatif: memberikan hiburan dan relaksasi, berita yang menarik minat penonton, saran orientasi dan arahan untuk kehidupan sehari-hari
“Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah kondisi demokratik mendukung jurnalis yang memeluk peran monitorial, sementara peran kolaboratif lebih mungkin terjadi di lingkungan yang secara politis lebih ketat. Peran intervensionis jurnalis lebih dihargai di masyarakat sosio-ekonomi yang kurang berkembang,” ujar Prof. Hanitzsch.
Dalam kesempatan yang sama turut hadir Dr. Kuskridho Ambardi. Menurut data yang didapat dari SPS, Dewan Pers dan eBdesk lingkungan media di Indonesia mengalami perubahan. “Cara baru media di Indonesia untuk menarik dan memenangkan penonton misal: kumparan (menyesuaikan preferensi berita kita sendiri) sedangkan kompas dengan memperluas basis pendapatan, bereksperimen dengan platform baru,” jelas Kuskridho Ambardi.
Menurut Dr. Kuskridho Ambardi, terdapat lima tren jurnalisme digital di Indonesia yaitu:
1. “More is good, faster is better”
The increasing number of news and how often they publish news are considered good in Indonesia
2. “Truth in the making”
3. “Sensationalism is menu of the day”
4. “Jakarta-centric”
5. “PR-ing and Spin-doctoring” : The Meikarta controversy and No.1 news site visited the most is detik.com
Melalui seminar kolaborasi PSSAT dan Departemen Ilmu Komunikasi diharapkan mahasiswa semakin jeli melihat perkembangan jurnalisme di era digital. Universitas Gadjah Mada sebagai lembaga pendidikan menjadi garda depan dalam menemukan rekomendasi dan solusi untuk membuat negara mereka lebih baik.