Pada Jumat, 3 Maret 2017 ASEAN Studies Center menyelenggarakan Bincang ASEAN dengan tema “Migration-Development Nexus: Buruh Migran Indonesia dan Masyarakat Ekonomi ASEAN”. Bincang ASEAN merupakan acara diskusi rutin dua mingguan yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian ASEAN yang bertujuan mendiseminasikan topik-topik dan informasi terkait ASEAN ke masyarakat. Bincang ASEAN diselenggarakan di Ruang 207 Lantai 2 Gedung BC Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Acara dimulai pada pukul 15.00 WIB.
Materi disampaikan oleh Dana Hasibuan, M.A (Dosen Sosiologi UGM). Area of interest Dana yaitu studi perkotaan dan isu buruh migran. Dalam penyampaian materi, Dana membuka dengan menyampaikan latar belakang tema yang diangkat. Komitmen negara-negara Asia Tenggara untuk mewujudkan sebuah masyarakat bersama yaitu masyarakat ASEAN telah dituangkan melalui beberapa Cetak Biru Masyarakat ASEAN 2015. Setidaknya ada tiga pilar penting yang diharapkan mampu mendorong bangunan ASEAN kedepannya, yakni pilar politik dan keamanan, pilar ekonomi, dan pilar sosial budaya.
Namun, wacana mewujudkan Masyarakat ASEAN saat ini baru sebatas mewujudkan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Upaya negara-negara ASEAN untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi seringkali melupakan bahwa ada dinamika sosial budaya di dalamnya yang juga harus menjadi perhatian. Isu buruh migran misalnya, buruh migran merupakan isu klasik yang sampai saat ini belum mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah nasional maupun ASEAN sebagai organisasi kawasan. Peningkatan jumlah kasus ketidakadilan dan pelanggaran HAM buruh migran menjadi bukti bahwa buruh migran hanya dilihat sebagai obyek dan bukan subyek.
Presentasi yang dipaparkan oleh Dana Hasibuan ini merupakan hasil riset yang dibiayai oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Gadjah Mada dan telah dipublikasikan di Research Days 2016. Penelitian dilakukan di dua lokasi yaitu Wonosobo dan Nusa Tenggara Barat.
Dalam studi buruh migran Dana mencoba memahami keterkaitan antara politik dan buruh migran. Alasannya, karena masih sedikit studi-studi yang mengaitkan antara politik dengan buruh migran. “Selama ini kami memahami ketika orang berbicara tentang buruh migran itu mereka pakai pendekatan yang namanya Migration-Development Nexus. Orang kalau bicara buruh migran pandangan pertama, pandangan elit itu mengatakan kalau seandainya migrasi itu berhubungan dengan development, apa maksudnya? Ketika orang melakukan migrasi mereka menghasilkan benefit-benefit. Pandangan yang kedua yang mencoba mencounter, mencoba menjelaskan bahwa justru hubungannya harus dilihat secara terbalik. Development dulu baru migration, artinya orang tidak punya akses ke pembangunan karena kemudian muncul kemiskinan kemudian akhirnya mendorong mereka untuk melakukan migrasi. Itulah dua pendekatan yang selalu membingkai di dalam studi buruh migran, jadi kalau dikumpulin semua studi buruh migran pasti ga jauh-jauh dari dua perspektif tersebut saling berkontestasi,” ungkap Dana.
Melalui riset ini, Dana ingin memperluas pendekatan alternatif yang dapat digunakan untuk memahami isu buruh migran diluar Migration-Development Nexus. “Kita mencoba melihat keterkaitan antara politik dengan buruh migran. Mungkin saya mau menambahkan satu aspek mengapa penting membicarakan buruh migran. Mungkin teman-teman semua mengetahui bahwa hari ini dunia berubah. Proyek globalisasi akhirnya kita tahu, ternyata yang namanya globalisasi selama ini hanya menguntungkan sekelompok kecil orang yang disebut dengan kelompok globalis yang kemudian mereka sebenarnya yang menguasai media, menguasai parlemen, dan sekarang proyek mereka mulai luluh lantak dimana-mana. Uni Eropa, mereka yang berusaha memenangkan Hillary malah Trump yang menang. Mungkin sekarang kita melihat manifestasi bahwa globalisasi hanya menguntungkan sekelompok elit dan ini mempunyai implikasi terhadap ASEAN karena siapa sih yang membentuk ASEAN, apa keuntungan yang bisa dihasilkan oleh ASEAN baik negara-negara yang ada di ASEAN maupun di Indonesia sendiri. Kedepan kita akan melihat adanya semacam reformasi tentang globalisasi yang berpengaruh terhadap pemaknaan kita tentang buruh migran,” jelas Dana.
Hasil penelitian Dana Hasibuan, M.A menjelaskan bahwa alasan buruh migran fokus mencari uang begitu tiba di negara tujuan karena ternyata selama ini buruh migran ketika di daerahnya masing-masing tidak pernah belajar untuk menjadi warga negara, tidak pernah belajar tentang bagaimana bernegosiasi dengan negara, mereka tidak pernah belajar mengadvokasi diri mereka ketika mereka tidak bisa mengakses kesehatan, mereka tidak pernah diajar untuk mengakses pendidikan yang baik dan benar.
“Terdapat diskoneksi isu-isu publik dimana laki-laki kemudian berpartisipasi dalam anggaran dana desa tetapi ketika udah menyangkut real pasti perempuan yang turun ke lapangan. Ada semacam patahan, laki-laki yang advokasi yang ikut bermain dalam proses perumusan kebijakan tapi dalam praktiknya ibu yang lebih sering mengurus. Nah inilah, kita tidak menghubungkan antara pembangunan dengan politik. Kenapa anda perlu membicarakan politik? Karena nasib anda ditentukan di politik: anda mau dapat sekolah bagus, anda mau jalan diperbaiki itu semua diperjuangkan di parlemen. Jadi ada koneksi langsung antara demokrasi, parlemen dan pembangunan. Kalau disini kan engga, tiba-tiba seluruh urusan publik kita serahkan ke pemerintah. Kita tidak tahu parlemen mewakili siapa, karena kita percaya good governance itu tadi,” papar Dana.
Dalam penelitian tersebut, baik di Wonosobo maupun Nusa Tenggara Barat ditemukan praktik legal dan illegal. “Akan tetapi kami membaca, praktik legal maupun ilegal sama-sama sebenarnya kemudian menghasilkan sebuah politisasi. Orang-orang tidak pernah tahu mengapa mereka harus mencari pekerjaan ke luar negeri. Orang-orang tidak pernah mengadvokasi ke bupati maupun ke partainya kemudian ketika melalui jalur ilegal, ada satu kehormatan sebenarnya yang saya berikan kepada orang-orang dijalur tersebut karena perjuangannya luar biasa. Dalam pengamatan kami, orang-orang yang melalui jalur ilegal biasanya lebih percaya diri dalam mengambil resiko tanpa bantuan negara atau lembaga penyalur tenaga kerja. Mereka memutuskan bagaimana caranya bisa sampai ke negara yang mereka tuju. Kalau di NTB rata-rata ingin ke Malaysia, kalau orang-orang di Wonosobo cenderung ke Arab Saudi. Hasilnya, ketika orang menempuh jalur informal biasanya ketika mereka pulang akan mengisi pos-pos strategis di level desa. Laki-laki jadi kepala desa, karena mereka punya banyak pengalaman kemudian untuk ibu-ibu menjadi Kepala Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK),” jelas Dana.
Bincang ASEAN kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dan diskusi. Terdapat 6 penanya yang sebagian besar merupakan anggota ASEAN Studies Center (ASC). Bincang ASEAN kemudian ditutup dengan konsumsi kudapan yang disediakan oleh pihak ASC. (/dbr)