Kebijakan Dana Aspirasi bagi anggota DPR sampai saat ini masih menimbulkan polemik dan menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Meski tidak banyak mendapat dukungan masyarakat dan elemen civil society, toh DPR telah mengesahkan peraturan tersebut yang tertuang dalam Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) pada Selasa (23/6) kemarin. Isu mengenai dana aspirasi sebenarnya bukan isu yang baru meski dengan jumlah nilai per orang/tahun yang berbeda. Pada tahun 2010, isu ini sebenarnya pernah muncul namun ditolak oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Perbincangan isu dana aspirasi tersebut muncul dalam acara diskusi yang bertajuk Mempertanyakan Dana Aspirasi DPR yang diselenggarakan oleh Dema Fisipol dalam kegiatan Forum Selasar Fisipol pada Rabu (24/6) sore. Diskusi yang bertempat di Selasar Timur ini mengundang dua pembicara sebagai pemantik diskusi. Keduanya yakni Dr. Mada Sukmajati (Dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan) dan Zaki Arrobi, S.Sos. (Peneliti Sorec sekaligus mantan Sekjend Dema Fisipol) dengan moderator Alfath Bagus P.E.I (Kadep Kastrat Dema Fisipol).
Dalam diskusi tersebut, Mada menjelaskan bahwa polemik dana aspirasi ini sebenarnya bukan barang baru. Selain itu, mengutip adagium yang pernah disampaikan oleh Harold Lasswell, bahwa politik adalah mengenai siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana, proses politik itu ‘tepat’ seperti yang terjadi saat ini lewat polemik dana aspirasi. Jika logika berpikir Lasswell tersebut digunakan maka ideologi, plaform dan program dalam politik menjadi tidak lagi relevan.
Seperti adagium tersebut, persoalan politik kemudian hanya direduksi menjadi persoalan yang sifatnya transaksional dan pragmatis.
“Polemik ini setidaknya memberikan sinyalemen kepada masyarakat luas bahwa politik atau proses politik di Indonesia memang mengarah pada proses pragmatis, kalkulatif dan transaksional,” jelas Mada.
Selanjutnya, menurut Mada, fenomena dana aspirasi ini sebenarnya bukan hanya saja terjadi di Indonesia. Setidaknya, di negara dengan kultur demokrasi mumpuni seperti Amerika pun pernah mengalami hal serupa. Dalam ranah literatur politik, polemik dana aspirasi ini juga dikenal dengan istilah politik pork barrel (gentong babi). Politik gentong babi ini sudah selayaknya ditolak selain karena bersifat pragmatis juga membahayakan proses penguatan demokrasi.
Mada memberikan tiga alasan mengapa praktik politik gentong babi dalam kebijakkan dana aspirasi ini sangat berbahaya. Pertama, praktik politik ini tidak bisa diakses oleh publik secara luas. Kedua, politik ini seringkali bias partisan. Misalnya, dalam satu daerah pemilihan bisa saja tidak semua elemen masyarakat yang direpresentasikan oleh wakil yang memegang kebijakkan tersebut mendapat akses kepada dana aspirasi. Ketiga, bisa dipastikan bahwa motif melaksanakan praktik gentong babi ini adalah untuk bisa terpilih kembali dalam proses elektoral.
Selain permasalahan tersebut, praktik gentong babi ini justru menyalahi aturan dalam sistem pemilu di Indonesia yang menganut asas proposional terbuka. Dalam hal ini, peserta pemilu legislatif di Indonesia adalah partai bukan personal tetapi justru personal yang diberikan dana bantuan bukan partai sebagai peserta pemilu legislatif. Lebih lanjut, praktik seperti ini bisa mengarah pada mekanisme patron-klien yang membahayakan penguatan demokrasi di Indonesia.
Sementara itu, Zaki Arrobi lebih menekankan pada praktik merebaknya para pemburu rente dalam kebijakkan dana aspirasi ini nantinya.
“Kebijakkan dana aspirasi ini dapat menyebabkan merebaknya para pemburu ‘proposal’ atau bantuan dari para oknum yang mengatasnamakan ‘masyarakat’ kepada calon legislatif. Dengan janji masyarakat tersebut akan memilihnya pada pemilihan legislatif mendatang,” ungkap Zaki.
Selain itu, dana aspirasi ini dikhawatirkan akan memperbesar jurang perbedaan ekonomi antara masyarakat Jawa dengan pulau yang lain. Hal ini mengacu pada logika kursi di DPR lebih banyak berasal dari Jawa daripada di luar Jawa. Lebih lanjut, kebijakkan dana aspirasi ini menyalahi aturan terkait hak DPR untuk dalam anggaran APBN, yakni bahwa DPR tidak punya hak menggunakan anggaran hanya mengawasi anggaran.
Menutup diskusi sore itu, Zaki berpendapat bahwa proses politik yang cenderung pragmatis, kalkulatif dan transaksional adalah tanda-tanda kegagalan demokrasi prosedural di Indonesia.
“Munculnya fenomena politik dana aspirasi ini memberikan tanda bahwa proses demokrasi prosedural (elektoral) belum berhasil untuk melakukan penguatan demokrasi di Indonesia,” tandasnya. (D-OPRC)