Yogyakarta, 22 Februari 2024—Prof. Dr. Agus Heruanto Hadna, S.IP., M.Si. remis dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada pada Rabu (22/2). Segenap guru besar, dosen, jajaran rektorat dan fakultas turut hadir dalam prosesi pengukuhan yang berlangsung di Balai Senat UGM. Melalui pidato berjudul “Inovasi Ketimpangan dan Kebijakan dalam Sosial Ekonomi”, Prof. Agus menjelaskan analisanya terhadap perkembangan dunia digital dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan sosial ekonomi.
Datangnya era digital dinilai sebagai sebuah berkah sekaligus tantangan masa depan yang mengkhawatirkan. Pemerintah telah menganggarkan sejumlah besar APBN dan berbagai program-program untuk mendukung digitalisasi dalam sepuluh tahun terakhir. Alokasi tersebut berupa peningkatan sarana prasarana pendukung digital, pengembangan pendidikan berbasis digital, hingga pembinaan UMKM berorientasi digital. Meskipun digitalisasi menawarkan kemudahan dan kecepatan informasi tanpa batas jarak dan waktu, namun di satu sisi menimbulkan jurang ketimpangan dan kesenjangan yang semakin besar.
Menurut Prof. Agus, perkembangan digital perlu didukung oleh munculnya inovasi-inovasi berbasis teknologi digital. “Sebenarnya perhatian terhadap inovasi kebijakan sektor teknologi ini memang sangat besar, tapi nampaknya masih didukung oleh jumlah pendanaan yang kecil. Jika diukur dari pendanaan Research and Development (RnD) dari GDP. Kasus di Indonesia, untuk dana RnD ini ternyata lebih banyak bersumber dari sektor publik,” paparnya. Prof. Agus juga menyebutkan, 39% dana didapat dari GDP, 35% berasal dari lembaga perguruan tinggi, dan swasta hanya 26%.
Munculnya publikasi inovasi terhadap sektor kebijakan dan digital terbilang belum merata. Berdasarkan data Prof. Agus, persebaran kemunculan inovasi tersebut hanya berada di Pulau Sumatera, Jawa, dan sebagian Sulawesi. Sedangkan Pulau Papua dan Kalimantan masih memerlukan dukungan lebih. Ketimpangan ini dapat mengindikasikan berbagai hal, seperti ketidakmerataan pendanaan RnD, hingga kurangnya pemerataan pengembangan pendidikan. Prof. Agus juga menyayangkan peringkat publikasi RnD Indonesia di negara-negara ASEAN bahkan berada di bawah Filipina, Vietnam, dan Singapura.
“Ditemukan sebanyak 1975 artikel tahun 2000-2023, dan paling banyak itu pada tahun 2023. Lima kata kunci yang paling banyak dipakai oleh para penulis adalah income inequality, social innovation, Covid-19, economy growth, dan sustainability. Ternyata topik-topik yang banyak muncul pada tahun-tahun tersebut adalah, tentu saja pandemi Covid-19, isu gender, dan Artificial Intelligence,” tutur Prof. Agus.
Selanjutnya, Prof. Agus juga memaparkan beberapa faktor penting yang memengaruhi inovasi kebijakan. Tiga di antaranya adalah faktor kelembagaan, sistem politik, dan dukungan anggaran. Kelembagaan seperti korporasi yang terus menerus dipaksa melakukan ekstraksi secara kapital dan tidak diiringi dengan inovasi berkelanjutan, akan memberikan dampak buruk di kemudian hari. Hal yang sama juga datang dari sistem politik. Prof. Agus juga menyatakan kekhawatiran terhadap kondisi politik yang sedang dibangun saat ini.
“Sistem politik yang terbuka terhadap partisipasi masyarakat juga dianggap sebagai salah satu pondasi penting bagi terwujudkan inovasi kebijakan. Seiring dengan meningkatnya partisipasi masyarakat sebagai mitra aktif dalam pengambilan keputusan. Saya khawatir bahwa sistem politik yang sedang kita bangun justru berbalik ke belakang, sebagaimana era sebelum reformasi. Maka inovasi kebijakan hanya akan menjadi seperangkat instrumen kekuasaan, yang definisi keberhasilannya hanya berada dalam ranah penguasa,” ucap Prof. Agus.
Urgensi kemunculan inovasi kebijakan dalam menghadapi era digital ini dinilai sebagai unsur penting untuk menyeimbangkan kemajuan dengan kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana tercantum dalam Sustainable Development Goals (SDGs) poin ke-4, yakni pendidikan berkualitas, membuktikan posisi krusial sektor pendidikan dalam mengawal laju pertumbuhan negara yang berkelanjutan. (/tsy)