
Yogyakarta, 11 Juni 2025—Prof. Dr. Phil. Gabriel Lele, S.IP., M.Si, Dosen Manajemen dan Kebijakan Publik resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Tata Kelola Kebijakan Publik pada Kamis (5/6). Isu demokrasi menjadi salah satu kekhawatirannya terhadap kondisi sosial-politik negara. Melalui pidatonya berjudul ‘Democracy Beyond Election: Kebijakan Publik Agonistik sebagai Agenda Transformasi’, Gabriel menyebut sejumlah kecenderungan dalam pola demokrasi saat ini, yaitu otoritarian, populisme, dan penyeragaman kebijakan.
Demokrasi bukanlah sistem yang hanya diterapkan secara prosedural, melainkan dihayati dan ditanamkan secara substansial juga. Dalam hal mengelola kebijakan publik, partisipasi publik merupakan nafas utama dalam implementasi demokrasi. Publik atau rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi harusnya mampu memiliki kuasa atas arah kebijakan pemerintah. Sayangnya, apa yang terjadi hari ini justru bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Gabriel menegaskan, akar masalah tersebut justru melahirkan konflik baru dalam kebijakan publik pemerintah sekarang.
“Demokrasi mesti hidup dalam kebijakan publik sebagai ruang perjumpaan yang setara antar warga. Kebijakan publik tidak boleh menjadi alat kekuasaan yang membungkam, tapi harus menjadi arena perbedaan yang setara,” tutur Gabriel. Sejumlah kebijakan dinilai belum mampu menggambarkan visi pemerintah untuk menyelesaikan masalah. Justru berpotensi menciptakan konflik yang lebih besar. Tentunya masyarakat akan menjadi korban yang palung terdampak. Hal ini dapat dilihat dari beragam kebijakan kontroversial seperti pemindahan Ibu Kota Negara, program Makan Bergizi Gratis, pembentukan Koperasi Merah Putih, serta sejumlah kontroversi yang mengiringi proyek strategis nasional (PSN).
Menurut Gabriel, ada kecenderungan mengabaikan pluralitas dan menutup ruang partisipasi publik. Sistem demokrasi tentu mengedepankan keterwakilan kepentingan setiap unsur masyarakat. Pada prosesnya, seringkali terjadi proses advokasi dari perbedaan kepentingan antar kelompok. Misalnya, masyarakat melakukan protes atau demo terhadap kebijakan pemerintah tertentu. Namun alih-alih dilakukan mediasi dan diskusi, proses ini justru sering dianggap sebagai konflik yang mengancam stabilitas negara. Lambat laun terbentuklah kekuasaan terpusat, melemahnya peran oposisi, serta tidak adanya ruang partisipasi publik dalam pemerintah.
“Kebijakan publik sering disusun dalam ruang tertutup, padahal seharusnya kebijakan tersebut menjadi ruang terang tempat semua suara bisa didengar,” jelas Gabriel. Pernyataan tersebut menyoroti beberapa kasus di mana pemerintah tidak membuka komunikasi pada publik. Contoh nyata terjadi pada pengesahan RUU TNI lalu yang menimbulkan gejolak amarah masyarakat.
Dalam kondisi tersebut, Gabriel mengenalkan perspektif agnostik yang mengakui bahwa konflik bukan sesuatu yang harus dihindari, melainkan dikelola sebagai bagian dari dinamika masyarakat plural. Eksistensi konflik pada sistem demokrasi mengindikasikan bahwa ada kepentingan publik yang belum dipertimbangkan. Selain itu, konflik juga menandakan bahwa demokrasi masih hidup dan terus menguat. Maka tidak seharusnya konflik dipandang sebagai sesuatu yang mengancam negara, melainkan bagian dari kehidupan demokrasi bangsa.
Universitas sebagai salah satu pusat ilmu pengetahuan masyarakat memegang peran penting untuk menjaga substansi sistem demokrasi. Perspektif Gabriel mengingatkan akan tanggung jawab universitas menyediakan ruang-ruang diskusi agar senantiasa mampu mencerahkan kehidupan bangsa. Harapannya, dikukuhkannya Prof. Gabriel sebagai salah satu dari 531 Guru Besar Aktif Universitas Gadjah Mada dapat memberikan sumbangsih terhadap perkembangan keilmuan sosial dan politik di masa depan. (/tsy)