Social Policy Club UGM mengadakan diskusi terbuka bagi seluruh mahasiswa Fisipol. Diskusi ini mengangkat tema Populism and Clientelism: Political Engineering Based on Social Protection (Jokowi Srategy to Presidential Election 2014 Winning in Jakarta). Bertempat di Ruang Sidang 2 Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan UGM, acara ini dimulai pada Pk 16.00 WIB dan diakhiri pada Pk 17.30 WIB. Diskusi ini dibuka oleh Abdul Majid selaku salah satu senior dalam komunitas Social Policy Club.
“Awalnya komunitas ini sebagai salah satu dari beberapa komunitas mahasiswa yang berkembang belum banyak yang kemudian memperhatikan isu-isu dalam jaminan sosial dan sebagainya. Isu yang berhubungan dengan konteks policy. Bukan berarti kita mendeskreditkan isu-isu yang lain karena masing-masing dari teman-teman Social Policy juga tergabung dalam gerakan-gerakan lain juga. Artinya dalam hal ini kita untuk mencoba melihat arus utama dari kesejahteraan di Indonesia yang kemudian sekarang lagi fokus ekspansi setelah beberapa tahun tidur dalam era pembangunan Pak Soeharto yang kemudian belum tersentuh dalam ranah yang lebih mengakomodir maka dari itu kemudian Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional memberikan semacam angin segar bagi tumbuhnya kebijakan sosial itu sendiri di Indonesia,” ungkap Majid.
Diskusi dipantik oleh Alfredo Gustiar, S. Sos yang merupakan wisudawan terbaik periode Februari 2017 dari Departemen Pembangunan Sosial dan Kebijakan. Diskusi dimulai dari pemaparan bahwa program sosial merupakan bagian dari kebijakan sosial yang menjadi instrumen pemerintah dalam memastikan setiap warga negara memiliki akses yang sama untuk mendapatkan kesejahteraan. Akan tetapi, program distribusi perlindungan sosial dalam beberapa kasus digunakan politisi untuk memenangkan pemilihan umum. Menurut Edo sapaan akrab Alfredo Gustiar, “Strategi ini dilakukan dengan cara menjanjikan distribusi perlindungan sosial dan mobilisasi mesin politik secara masif untuk memengaruhi perilaku pemilih. Tidak hanya itu, untuk meningkatkan elektabilitas, politisi juga melakukan klaim politik supaya politisi tersebut memiliki asosiasi yang erat dengan distribusi perlindungan sosial yang sebenarnya dilakukan negara,” jelasnya.
Strategi ini mengakibatkan terbentuknya kesan bahwa distribusi perlindungan sosial yang dijanjikan adalah kebaikan politisi. Hal tersebut membuat penelitian ini berupaya menjabarkan upaya Joko Widodo dalam melakukan mobilisasi politik menggunakan program sosial pada Pemilihan Presiden tahun 2014, dan respon pemilih miskin DKI Jakarta sebagai kelompok sasaran dari strategi mobilisasi politik menggunakan program sosial, mengingat Joko Widodo berjanji mendistribusikan program sosial dalam kampanyenya. Penelitian ini menggunakan konsep populisme Ernesto Laclau, dan konsep pembelian suara menggunakan program sosial Stokes dalam menganalisa temuan di lapangan.
Lebih lanjut Edo menjelaskan bahwa temuan dari penelitian ini adalah terlihatnya indikasi yang sangat kuat yang menunjukkan bahwa Joko Widodo menggunakan strategi mobilisasi politik menggunakan program sosial untuk memengaruhi perilaku pemilih yang termasuk dalam kategori penerima program distribusi perlindungan sosial demi memenangkan Pemilihan Presiden tahun 2014. “Proses ini diawali dengan kinerja mesin politik Joko Widodo membangun populisme Joko Widodo, dan dilanjutkan dengan usaha pengontrolan perilaku pemilih melalui relasi personal yang dimiliki mesin politik Joko Widodo. Selain itu, terlihat juga respon pemilih yang cenderung menentukan pilihan tanpa melihat gagasan yang dibawa kandidat secara keseluruhan, bahkan pemilih cenderung pasif dalam mencari informasi terkait gagasan yang diusung kandidat,” jelas Edo.
Strategi pemenangan kandidat melalui strategi populisme dan klientelisme merupakan hal yang telah terjadi di berbagai negara di dunia. Strategi ini menjadi strategi yang cukup efektif untuk menggalang dukungan dari pemilih, terutama dari pemilih segmen menengah dan bawah. Kelompok masyarakat miskin secara spesifik memiliki karakteristik yang rentan terhadap praktik-praktik mobilisasi pemilih menggunakan alat tukar, yang berupa uang ataupun program distribusi kesejahteraan sosial. (/dbr)