Wakil Ketua DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Arif Noor Hartanto mengatakan, Undang – Undang Keistimewaan (UUK) DIY merupakan implementasi paugeran Keraton Yogyakarta. Deangan demikian segala hal yang sudah ditetapkan di dalamnya, wajib dilaksanakan.
Termasuk juga mengenai gelar Gubernur DIY yang juga Raja Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono X. ” Dahulu seluruh rakyat DIY menyetujui dan mengikhlaskan diri untuk diberlakukannya UUK, saat itu juga semuanya sudah mengacu pada paugeran (draf RUUK). Artinya paugeran jadi acuan utama, ” katanya, Senin (11/4) .
Dengan demikian , yang perlu dilakukan saat ini adalah seluruh komponen dan elemen masyarakat di DIY melaksanakan amanat UUK tersebut dengan konsisten. Jika ada pemikiran baru mengenai perubahan paugeran Keraton, maka publik berhak mengetahuinya.
“Sekarang sudah tidak ada lagi persoalan, negara sudah mengintervensi melalui UUK, sudah gathuk (menyatu),” katanya.
Dalam UKK, lanjutnya, publik juga berhak mengetahui apa saja isi paugeran. Pun siapa yang akan menduduki posisi Sultan dan gubernur yang akan datang. UU juga memerintahkan , calon yang akan menduduki jabatan tersebut juga harus dididik terlebih dahuu. “Kalau tiba – tiba muncul, itu melanggar UUK,” katanya.
Sementara itu, mengenai rencana Sultan HB X mengajukan oerubahan nama, hal itu tidaklah mudah. Sebab nama tersebut sudah masuk dalam UUK, dan surat keputusan presiden saat pelantikan gubernur dan wakil gubernur 2012 lalu.
Ia mengungkapkan, sampai saat ini, DPRD DIY belum menerima tembusan mengenai pengajuan perubahan nama tersebut ke pemerintah pusat. Dengan demiian DPRD belum bisa mengambil sikap mengenai polemik itu.
“Maka secara legal formal, nama Gubernur DIY masih tetap Sri Sultan Hamengku Buwono X, ” katanya
Kepala Biro Tata Pemerintahan Pemda DIY, Haryanto mengungkapkan, sampai saat ini pihaknya belum menerima surat pemberitahuan ataupun tembusan dari Keraton mengenai perubahan nama tersebut.
Gelar Lama
Sebelumnya, Penghageng Tepas Dwaeapura Keraton Ngayogyakata Hadiningrat (Humas Keraton Kasultanan Ngayogyakrta), KRT H Jatiningrsat SH atau Romo Tirun mengungkapkan, sampai saat ini seluruh administrasu di Keraton masih menggunakan gelar yang lama. Hal itu karena belum ada perintah dari Sultan untuk mengubah gelar untuk keperluan administrasi.
“Administrasi Keraton masih memakai Buwono, karena belum ada perintah untuk mengubah. Jadi jika ada perubahan , biasanya nanti kan ada Dawuh Dalem yang menyatakan bahwa mulai sekarang ada perubahan nama begitu, ” tuturnya.
Sementara itu, Pengamat Politik UGM, Bayu Dardias Kurniawan mengatakan, alasan mendasar adanya penilakan para adik-adik Sultan terhadap Sabdaraja dan Dawuhraja, karena Dawuhraja menghilangkan kemampuan Kasultanan Yogyakarta untuk memilih pemimpinnya.
“tidak ada alternatif sistem yang diberikan Sultan. Sehingga Kasultanan Yogyakarta akan dihadapkan pada krisis mencari pemimpin karena jika garis laki-laki dihapuskan. Beliau juga menolak berkomentar lebih jauh terkait GKR Mangkubumi menjadi penerus tahta,” katanya.
Bayu memperkirakan, pro dan kontra di internal akan terus berlanjut. Menurut, adik – adik Sultan sedang berupaya, tidak hanya mempertahankan masa lalunya, terlebih mempertahankan masa depan Kesultanan.
“sementara Sultan sedang melaksanakan amanat leluhur yang juga memiliki konsekuensi tersebndiri apapbila tidak dilaksanaan. Ini perbedaan pendapat yang tidak mudah ditemukan titik temunya,” katanta
Sementara itu, adik Sri Sultan Hamengku Buwono X, GBPH Yudhaningrat, mengatakan, dirinya pada Senin (!!/5) di nDalem Yudanegaran, menerima aspirasi dari masyarakat yang mengatasnamakan Warga Kauman Yogyakarta, mereka ingin menggelar aksi demokrasi mengenai polemik ini.
“mereka minta izin mau demo minta dikembalikan paugeran, tapi saya minta ya demo silahkan aja, tapi jangan merusak Keraton. Sebab itu ulah oknum, jangan sampai Keraton yang jadi sasaran,” katanya tanpa menyebut kapan aksi tersebut dilaksanakan.
Koordinator Warga Kauman Yogyakarta, Muslih mengatakan, pihaknya masih memiliki sikap yang sama, yakni menuntut paugeran Keraton berupa gelar Syidin Panatagama Khalifatullah dikembalikan. (dilansir dari Tribun Jogja, Selasa 12/5/2015, halaman 1)