Yogyakarta, 13 Februari 2024—Film “Dirty Vote” yang dirilis beberapa hari menjelang pelaksanaan Pemilu 2024 kini ramai diperbincangkan masyarakat. Film garapan jurnalis dan kritikus Dhandy Dwi Laksono ini mengungkap berbagai bentuk kecurangan sepanjang pemilu dengan menggandeng tiga ahli tata hukum negara. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM mengundang langsung narasumber film, yakni Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M. untuk membahas langsung pemaknaan film ini pada Selasa (13/2).
“Sedikit cerita tentang pembuatan film ini. Awalnya kami membuat riset tentang kecurangan pemilu. Kemudian Mas Dhandy datang dan tertarik untuk membuat film tentang ini. Kami berdiskusi panjang, mengkaji riset ini secara detail dan bagaimana penyajiannya,” terang Zainal. Proses pengkajian ulang riset memakan waktu lebih lama dibanding produksi film. Hal ini dilakukan bukan hanya sebagai bentuk kehati-hatian, namun juga memastikan bahwa informasi yang didapatkan penonton adalah valid.
Sejak dirilis pada 11 Februari 2024, film berdurasi 1 jam 57 menit ini menuai banyak respon dari masyarakat. Bukti-bukti nyata kecurangan pemilu, ketidaknetralan ASN dan pemerintah, serta penyelewengan konstitusi dijelaskan secara detail dan informatif. Sebagian mengatakan film ini memaparkan kritik dengan baik menjelang pemilu, namun tidak sedikit yang menghujat dan memberikan tuduhan. Zainal mengaku, ia yakin tim produser Dhandy sudah paham akan konsekuensi perilisan film ini. Bukan kali pertama sebuah film dokumenter rilis sebelum pelaksanaan pemilu. Sebelumnya, ada juga film “Sexy Killer” pada Pemilu 2019.
“Kita melihat sepanjang sejarah pemilu ini tidak ada yang baru. Kecurangan itu sistematis, terus berulang. Jadi kita hanya menjahitnya kembali. Dan ini murni merupakan inisiasi dari teman-teman produser tanpa ada dukungan dari pasangan calon manapun. Susah sekali menghadapi tuduhan ini, bahkan sekarang laporan keuangan masih belum lunas. kalau ada kepentingan kandidat tidak mungkin,” jelas Zainal ketika menanggapi beberapa tuduhan yang dilayangkan pada film ini.
Diskusi film “Dirty Vote” turut dihadiri oleh kelompok mahasiswa, salah satunya adalah Nugroho Prasetya Aditama, sebagai Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) KM UGM. “Film ini menurut saya sangat berani, sangat lugas. Film yang mencerdaskan dan menyentil, menyentil kami mahasiswa. Gerakan mahasiswa menjadi cukup tersentil ketika saya melihat, saya mencoba merefleksikan kembali. Sebetulnya seberapa jauh mahasiswa mengawal pelaksanaan pemilu ini,” ujar Nugroho.
Wawan Mas’udi, S.IP., MPA, Ph.D., Dekan Fisipol UGM mengungkapkan apresiasi terhadap film “Dirty Vote”. Menurutnya, kecurangan pemilu bukanlah hal baru dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Setiap lima tahun sekali, kajian mengenai pemilu terus menerus mengkritik akan adanya kecurangan dan kepentingan di luar rakyat. Tentunya, regulasi selalu berbenah untuk menyelenggarakan pemilu yang lebih baik. “Saya kira kecurangan pemilu itu bukan hal baru. Pasti ada saja setiap pemilu, dan harus menjadi evaluasi. Tapi sayangnya masyarakat kita ini mudah sekali melupakan sejarah. Jadi film-film seperti ini dibutuhkan untuk membuat kita ingat dan terus evaluasi untuk kedepannya,” ucapnya.
Wawan menambahkan, substansi film ini juga sangat kritis dan memiliki penggambaran yang baik tentang demokrasi Indonesia saat ini. Masyarakat mampu melihat lebih dalam dan mendapatkan sudut pandang yang lain di samping sekedar memberikan hak suara. “Korupsi yang paling berbahay itu bukan uang, tapi korupsi dalam sistem. Akan lebih sulit dibasmi, atau bahkan sekedar dideteksi. Untuk itu, saya harap kita semua juga ikut berkomitmen mewujudkan pemilu yang aman dan demokratif,” pesannya. (tsy)