Rekarbonisasi: Transisi Energi Justru Timbulkan Paradoks

Yogyakarta, 4 November 2024—Transisi energi diangkat sebagai agenda internasional guna menghadapi isu perubahan iklim. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk mendorong percepatan transisi energi nasional, namun konsep besar dalam Green Transition itu sendiri melahirkan paradoks. Prof. Dr. Poppy Sulistyaning Winanti, S.IP., M.PP., Dosen Ilmu Hubungan Internasional UGM bersama Dr. Nanang Indra Kurniawan, S.IP., MPA, Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan UGM mengulas topik tersebut dalam diskusi pada Senin (4/11).

Dalam tema “Recarbonization through Decarbonization: How Green Extraction Deepens Fossil Fuel Dependence”, Poppy menjelaskan gambaran besar transisi energi belum sepenuhnya terhindar dari energi fosil. “Upaya untuk pengurangan emisi karbon itu menggunakan energi hijau. Lalu munculah industri mobil listrik, yang paling dibutuhkan adalah baterai. Komponen untuk membuat baterai, sampai aliran listrik sebagai sumber energi utama itu tidak bisa diperbaharui,” terang Poppy.

Pembuatan bahan baku baterai ataupun komponen dalam teknologi renewable energy banyak menggunakan bahan baku critical minerals. Jenis bahan baku ini termasuk nikel, cobalt, lithium, mangan, dan lain-lain semakin diincar akibat melonjaknya permintaan teknologi energi baru terbarukan (EBT). Teknologi energi bersih membutuhkan lebih banyak kandungan mineral dalam proses manufaktur, dibanding teknologi enegri fosil. Lithium contohnya, sangat penting digunakan dalam pembuatan baterai pada mobil listrik.

“Mimpi transisi energi ini memunculkan exquisite extractive. Ekstraksi yang lebih dalam, menguat, dan mengakar. Ini dibuktikan dengan tingginya permintaan mineral dari negara-negara lain,” tambah Poppy. Indonesia sebagai negara yang dianugerahi kelimpahan sumber daya alam memegang peran penting dalam ketersediaan dan kebutuhan mineral internasional.

Pemerintah secara gamblang menyatakan ingin meningkatkan hilirisasi produk mineral kritis, khususnya nikel. Melalui Peraturan Menteri ESDM Tahun 2020, bijih nikel dengan kadar di bawah 1,7% tidak boleh diekspor. Melainkan harus diolah di dalam negeri, sehingga nilainya bertambah. Kebijakan ini dimunculkan sebagai respon dari tingginya permintaan ekspor bijih nikel Indonesia dan dorongan industrialisasi. Namun keduanya sama-sama meningkatkan intensitas pertambangan dalam negeri.

Nanang Indra Kurniawan, menjelaskan alasan mengapa ketergantungan terhadap fosil sulit dihilangkan. “Nikel kita murah dan banyak. Pengembangan energi renewable tidak akan bisa tanpa adanya tambang. Ini menyebabkan ketergantungan semakin tinggi terhadap fossil fuel. Mereka tidak hilang, tapi penambahan komposisi di masyarakat,” tutur Nanang. Proses ekstraksi mineral tidak terlepas dari penggunaan bahan bakar fosil seperti batu bara. Inilah alasan mengapa industri fosil masih relevan sampai saat ini, karena mereka tidak hanya digunakan sebagai bahan bakar.

Selain itu, infrastruktur dunia dibangun dengan menggunakan sistem energi fosil. Pembangkit Listrik Tenaga Uap contohnya, batu bara tetap digunakan untuk menghasilkan uap yang diubah menjadi listrik. Terperangkapnya karbon dalam infrastruktur disebut sebagai fenomena Carbon Lock-in. “Mengubah sistem tersebut sangat sulit dan membutuhkan biaya besar, maka kita tidak bisa sepenuhnya lepas dari pertambangan,” jelas Nanang.

Nanang menambahkan, hal lain yang mendukung keberlangsungan energi fosil adalah aktor-aktor yang terhubung dalam bisnis fosil. Saat ini, hampir seluruh pemain dalam bisnis batu bara merupakan elite politik. Nanang menyebut, ada upaya untuk mempertahankan industri batu bara melalui political lock-in. Pemerintah sendiri mendorong percepatan transisi energi nasional, namun juga mendorong penggunaan bahan tambang dalam prosesnya. Kemudian hal tersebut disebut sebagai satu kesatuan proses green transition.

“Kita perlu menata kembali kerangka pikir akan bagaimana sebenarnya green transition itu diimplementasikan. Energy transition itu bukan soal teknis. Bukan melakukan investasi secara teknis, tapi mendorong relasi politik yg lebih demokratis,” tutup Nanang. Diskusi “Recarbonization through Decarbonization: How Green Extraction Deepens Fossil Fuel Dependence” merupakan salah satu kontribusi Fisipol UGM dalam mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs) ke-13 yakni Penanganan Perubahan Iklim. (/tsy)