Yogyakarta, 19 Oktober 2023─Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi pasal 169 huruf q Undang-Undang 7 tentang Pemilu mengenai batas usia capres dan cawapres telah munculkan isu politik dinasti hingga degradasi demokrasi. Menanggapi peristiwa ini, Election Corner UGM menghelat diskusi bertajuk “MKDK: Mau Kemana Demokrasi Kita?” pada Kamis (19/10) melalui Zoom Meeting. Zainal Arifin Mochtar, Sukri Tamma, dan Huriyyah hadir sebagai pembicara.
Para ahli hukum berikan kecaman atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang longgarkan syarat usia capres-cawapres paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah. Putusan ini dianggap meloloskan Gibran Rakabuming, putra sulung Joko Widodo untuk jadi bakal calon wakil presiden. Akibat putusan ini, MK dianggap telah melenceng dari perannya sebagai benteng konstitusi.
“Aktor politik telah merekayasa permainan politik dengan menggunakan hukum sebagai alat kepentingan politisi. Padahal MK harusnya adalah garda terakhir demokrasi,” ungkap Hurriyah.
Sementara itu, Zainal juga menganggap terdapat pelanggaran terhadap prinsip bahwa putusan hakim tidak memperbolehkan adanya suasana kebatinan atau memiliki kepentingan. Ini merujuk pada Ketua MK Anwar Usman selaku paman Gibran Rakabuming yang ikut memutus perkara dan mengabulkan gugatan.
“Implikasinya jadi bahaya ketika MK bersalin rupa jadi kepentingan orang. MK dibuat untuk menundukkan politik menggunakan hukum,” jelas Zainal.
Sementara menurut Sukri, implikasi lain adalah efek domino yang panjang dimulai dari kegamangan demokrasi akibat benteng yang sudah rapuh dan ketiadaan fondasi untuk menjaga demokrasi. Keketatan hukum yang diintervensi dapat menyebabkan ketidakseimbangan antara posisi hukum dan politik.
“Demokrasi adalah ruang yang banyak kepentingan, jika tidak diatur secara ketat oleh hukum maka tidak akan ada kehidupan lebih baik (hukum tidak berjalan),” ungkap Sukri.
Menurut Hurriyah, fenomena regresi demokrasi tidak hanya terjadi di Indonesia melainkan sudah menjadi tren global, dimana pemimpin eksekutif memakai popularitasnya untuk memaksakan Undang-Undang atau kebijakan dalam kehancuran demokrasi serta mengganggu check and balances. Perbaikan kualitas hukum agar tidak terjun dalam degradasi demokrasi memerlukan penguatan kembali standar konstitusionalisme dan keterlibatan masyarakat sipil.
“Kerja-kerja masyarakat sipil (perlu) dikuatkan untuk membuka ruang-ruang diskusi dan liberatif yang lebih baik,” tukas Zainal.
Agenda diskusi ini diselenggarakan selaras dengan tujuan SGDs poin 16 tentang Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan yang Tangguh. (/dt)