Seminar berjudul “Liberalisasi Telekomunikasi: Dominasi Investasi Asing atau Kemandirian Ekonomi?” yang telah diselenggarakan pada Senin (24/10) lalu oleh Center for Digital Studies (CfDS) Fisipol UGM ini menyoal tentang revisi PP Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan PP Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Radio dan Orbit Satelit. Peraturan Pemerintah tersebut akan direvisi untuk mendorong efisiensi sebesar dua triliun dengan adanya kebijakan yang menganjurkan jasa telekomunikasi untuk berbagi spectrum dan jaringan (spectrum and network sharing) dan coverage layanan harus mau ditumpangi operator lain.
Menurut Hanafi Rais, Wakil Ketua Komisi I DPR-RI yang hadir sebagai pembicara, jika revisi kedua peraturan pemerintah ini diloloskan maka akan terjadi regulation capture dimana negara tidak berpihak pada industri nasional namun berpihak kepada pasar karena kendali informasi akan dikuasai asing. Sedangkan Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), menyatakan efisiensi sebesar dua triliun yang dicanangkan pemerintah terkait revisi PP Nomor 52 dan PP Nomor 53 Tahun 2000 ini tidak sebanding dengan kerugian lebih besar yang akan mengikutinya akibat kompetisi tidak sehat di industri telekomunikasi yang akan menurunkan pendapatan industry dan berdampak pula pada penurunan pendapat negara. Yustinus juga mengungkapkan adanya kekhawatiran transfer pricing atau pergeseran profit ke luar negeri sehingga Indonesia justru tidak menikmati keuntungannya. Hal senada diutarakan oleh Arie Sudjito, pembicara dari Departemen Sosiologi Fisipol UGM, Arie bahkan menyatakan bahwa revisi PP Nomor 52 dan PP Nomor 53 Tahun 2000 sebagai hal yang ‘ultra-liberalisasi’ yang kontraproduktif dengan Nawacita yang dicanangkan Presiden Jokowi.
Oleh karena itu, ketiga pembicara menyarankan agar revisi PP Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan PP Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Radio dan Orbit Satelit ditunda terlebih dahulu dan dikaji lagi dengan melibatkan publik dalam penyusunan kebijakannya, karena nantinya masyarakat juga-lah yang terdampak kebijakan ini. Selain itu, harus dipastikan agar kebijakan telekomunikasi ini tidak pro asing namun berpihak kepada industri nasional dan masyarakat luas. (Nurul)