Ditulis Oleh Janianton Damanik
Guru Besar Jurusan PSDK FISIPOL UGM
Publik sering memandang panti sosial (PS) sebelah mata. Ada kesan yang dibuat seolah PS tempat anak dan lansia yang terbuang akibat satu atau hal lain. Sebutan populer yang dilekatkan kepada mereka adalah penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). Karena itu, PS identik kumpulan orang bermasalah.
Pandangan ini ada benarnya, meski caranya tidak utuh. PS adalah unit layanan di garis terdepan untuk penanganan masalah sosial. Negara dan masyarakat sipil menghadirkannya untuk merespon malsah sosial yang terus menumpuk. Lebih dari sekedar panti, PS bahkan berfungsi sebagai ‘rumah sakit sosial’ yang menjadi tumpuan untuk menyembuhkan penderita masalah sosial.
Tumpukan asalah sosial ini bisa diamati dari banyaknya jumah anak dan lansia terlantar. Tahun 2012 saja, menurut Kemensos tercatat sekitar 4,8 juta anak terlantar dan 2,8 juta lansia terlantar. Belum lagi penyandang HIV AIDS, difabel, penganggur kronis, PSK dan seterusnya. Sulit membayangkan apa yang terjadi di sekitar kita tanpa intervensi dan kehadiran PS.
Masih menurut catatan Kemensos, jumlah PS di Indonesia baru sekitar 8000-an. Jumlah ini jelas tidak memadai meski untuk menampung anak terlantar saja. Idealnya stau unit PS menampung maksimum 30-40 anak atau lansia terlantar. Karena itu dibutuhkan sedikitnya 253 ribu unit PS untuk anak dan lansia terlantar. Jangka pendek, sekalipun ada dukungan dari pemerintah dan masyarakat sipil.
sebenernya ada hal yang lebih mendesak dilakukan, yakni revitalisasi PS. Salah satu yang perlu direvitalisasi adalah sistem pengasuhan. Sistem yang berlaku sekarang menempatkan PS sebagai penggantik orangtua bagi anak atau keluarga bagi lansia terlantar. Ia berfungsi sebagai tempat pencegahan, perlindungan, pemulihan dan pengembangan bagi anak dan lansia.
Memang fungsi itu ideal sekali. namun, ada kesenjangan di lapangan. Faktanya, ia lebih menekankan fungsi perantara atau caretaker yang bersifat sementara. Fungsi ini menjadikan PS sering dipandang penghuni dan pengelola sebagai tempat singgah, penitipan atau penampungan. Buktinya tidak sulit ditemukan. Kasus-kasus penghuni ‘melarikan diri’ dari PS, terjaring razia satpol pp, lalu dititipkan atau diserahkan ke PS adalah contohnya.
PS atau lembaga apapun, tidak dapat menggantikan fungsi orangtua atau keluarga. Orang yang tercerabut dari keluarganya pasti kehilangan cinta storge–kasih kepada orangtua dan saudara. Sejatinya cinta seperti inilah pupuk paling subur untuk pertumbuhan pribadi anak.
Memang di PS juga banyak pekerja sosial profesional, penuh dedikasi, dan kasih sayang. Toh, jenis kasih mereka condong ke filia–cinta sesama manusia yang sifatnya storge.
Khusus kasus anak terlantar, ada opini yang mengingatkan agar mereka tidak terlalu lama terpisah dari keluarganya. Anak bahkan tidak boleh tergantung pada PS. Semakin lama ia terpisah, semakin hilang jejak dan garis keluarganya. Risiko yang pasti, anak akan mudah mengidentikkan diri sebagai ‘si anak hilang’. Stigma diri ini kian menjauhkannya dari kerinduan untuk menyatu dengan keluarga.
Pandangan tersebut ada benarnya, karena mengandung pesan pembelajaran yang baik. Anak adalah elemen dasar keluarga. Keterpisahan jangka panjang dari keluarga sama dengan alienasi atau putusnya mata-rantai kedekaran. Anak menjadi asing bagi orangtuanya, begitu pula sebaliknya. Situasi ini jelas tidak dikehendaki, apalagi dalam konteks perlindungan hak-hak anak.
Di sinilah revitalisasi fungsi PS makin dibutuhkan. Tanpa menghilangkan fungsi dasar lain, PS perlu mengedepankan fungsi integratif. Caranya, pola asuh PS diarahkan untuk menyatukan anak terlantar dengan keluarganya. Ketika anak ditelantarkan keluarga, PS hadir untuk melindungi dan merajut kembali kepaduan keluarga. Jadi, unit pengasuhan tak eksklusif pada anak, tapi pada anak dan keluarga.
Jika pengasuhan hanya diberikan sepihak kepada anak terlantar, mungkin sebagian haknya dapat dilindungi atau dipulihkan. Namun, perlindungan dan pemulihan hak anak melalui pengasuhan di PS tak otomatis mematri kembali cinta yang terputus dengan keluarga. Sejatinya ia tetap terlantar dari cinta-kasih keluarga. Anak terlantar bukan persoalan pribadi anak semata. Dalam banyak kasus, anaklah yang ditelantarkan orangtua atau keluarga. Ia adalah produk keluarga yang terkoyak.
Untuk menjalankan fungsi integratif, PS bisa menerapkan sistem buka-tutup (on-off) pengasuhan. Masa pengasuhan anak terlantar dapat dibatasi, misal 2 tahun. Tugas PS merukunkan mereka dengan keluarga. Ini penting untuk membelajarkan anak dan semua pihak, PS bukan hunian tetap, melainkan arena pendidikan keluarga.
Janianton Damanik, Guru Besar Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM